see the world

see the world

26 Juni 2008

aziz Mayday

Telah lahir sebuah peristiwa yang tertanda.

Sebagai simbol perjuangan kelas pekerja.

Kelahiran yang dibidani perlawanan atas penindasan.

Dihiasi letusan senjata dan derit kayu tiang gantungan.

Bunderan lapangan Haymarket menjadi saksi

Lahirnya sebuah harapan…. May Day…

Seratus dua puluh dua tahun berlalu, suatu peristiwa lain tertanda

Tangisan jabang bayi terpantul menggema di dinding RS Melania

Cahaya mentari 1 Mei saksi atas lahirnya harapan yang lain.

Harapan sebagai nafas gerak atas kehidupan yang selalu tersembunyi.

Diselubungi misteri keterlemparan dalam meng-ada didunia.

Selamat buat Aziz dan Widya yang berbahagia

Thanks

Ghonjess


18 Juni 2008

di balik gambar lucu

Hutan, buldozer, tanah gundul dan gersang, pabrik di kejauhan-langit gelap, manusia bercawat bergelantungan di liana”.

Struktur.... terlihat adanya garis yang tegas antara bagian kiri dan bagian kanan gambar (dari arah pembaca). Bagian kiri digambarkan hutan (ada pohon), sejuk, asri, menyiratkan ketenangan dan keharmonisan, sedangkan di bagian kanan digambarkan industri, polusi, panas, gersang, gundul (tidak ada pohon), lebih bersifat menakutkan. Gambar tersebut merefleksikan adanya struktur ”oposisi biner” di mana ada dua kutub yang kontras antara yang satu dengan yang lainnya. Struktur seperti ini hanya menyediakan dua pilihan tanpa memberikan ruang bagi pilihan lain selain dari kedua kutub yang saling beroposisi tersebut. Mengingatkan-ku akan slogan Amerika ....Kalau bukan kawan, sudah pasti musuh.. dulu pada era perang dingin (Cold War). Tentu akan menjadi berbeda kalau ditampilkan gambar kampung, kebun atau ladang masyarakat ..dsb..

Relasi..... Buldozer mengarah ke hutan, ingin menunjukan adanya proses gerak dari kanan ke kiri, bagian kanan dulunya seperti bagian kiri. Dari hutan ke tanah gersang dan gundul. Dari ada pohon ke tidak ada pohon. Dari sejuk ke panas. Dari ketenangan ke menakutkan.

Nuansa proses tersebut didukung oleh kalimat pendek (scientific claim) di bagian bawah gambar dengan menekankan dimensi waktu yang mengarah kepada ’kesegeraan’ akan perhatian.. Dengan komposisi tampilan bagian kanan yang menstimulasi sensasi sensorik pembaca kearah negatif (buruk), pembaca digiring untuk memberikan intensi pada kutub sebaliknya ..positif (baik).. yaitu hutan. Disini hutan digambarkan sejuk, harmonis, tenang seolah-olah ’pristine’ ’untouched’ ’hutan perawan’ tanpa konflik, dengan kata lain menegasikan keberadaan manusia dan aktivitas di dalamnya.

Moral.... begitu sulitkah untuk menggambarkan adanya manusia di hutan yang memiliki ’adab’ dari sekedar manusia bercawat (liar? Tarzan?) yang bergelantungan di liana. mengingatkanku kepada stereotipes kolonial terhadap masyarakat setempat seperti “the savage; the primitive; the tribal; the traditional” yang sudah selayaknya untuk ditinggalkan.

Mungkin karena gambar (selain angka-angka) lebih mudah menyentuh sensasi sensorik manusia sehingga sering dijadikan media bagi transfer nilai-nilai tertentu yang dapat merubah cara berfikir pembacanya. Dan karena itu pula sering dipilih menjadi alat dalam kampanye atau propaganda yang bertujuan untuk memperoleh dukungan yang lebih besar (bukan hanya dana).

So….dari gambar tersebut yang merupakan hasil dari produksi manusia, kita dapat mencoba untuk memahami ”The deep structure of mind” yang terkandung di dalamnya.


Ghonjess

Politik Pendanaan dalam Konservasi Alam

Artikel Mac Chapin yang dimuat majalah WorldWatch pada bulan November/ Desember 2004 menggambarkan bagaimanan hubungan antara masyarakat dengan konservasi alam serta bagaimanan politik pendanaan bagi NGO keanekaragaman hayati yang saat ini ada di seluruh dunia. Artikel yang bertajuk “A Challenge to Conservationists” tersebut sukses menarik perhatian untuk memperlihatkan kompleksnya hubungan hak-hak masyarakat , land tenure, hak akan sumberdaya alam dengan konservasi. Pada artikel tersebut Chapin menunjuk tiga organisasi konservasi raksasa dunia yaitu WWF, TNC, dan CI, sebagai unit analisa. Ketiga organisasi konservasi tersebut lebih merupakan representasi dari gerakan konservasi ‘Amerika’, hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan ketiga organisasi tersebut beserta strategi pendanaan yang telah mereka lakukan.

Projek-projek raksasa dalam konservasi yang dilakukan dibanyak negara kurang memperdulikan kehidupan sosial masyarakat setempat, serta nilai-nilai yang ada. Tidak adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penilaian, menjadi penyebab gagalnya berbagai projek yang bersentuhan dengan masyarakat yang mereka lakukan. Meskipun telah banyak inisiatif projek yang dibangun dengan menggunakan istilah-istilah yang bernuansa partisipasi masyarakat, seperti : ‘Community-based natural resource management,’ ‘Sustainable development and use,’ ‘ grassroots conservations,’ ‘devolution of resource rights to local community,’ ‘integrated conservation and development programs,’ namun istilah-istlah atau projek-projek tersebut di bangun oleh organisasi konservasi dan bukan oleh masyarakat setempat yang hidup dari sumberdaya alam yang ada. Kalaupun dilakukan kerjasama antara masyarakat dengan organisasi konservasi, sering dilakukan pada situasi yang tidak seimbang, dimana masyarakat pada posisi yang lebih lemah baik secara ekonomi maupun secara kekuatan politik, jadi keduanya pada posisi yang tidak seimbang dalam melakukan negosiasi kerjasama tersebut.

Dengan demikian gerakan konservasi yang notabene dikendalikan secara internasional telah mengintervensi kalau tidak mau disebut mengganggu atau merusak tatanan kehidupan masyarakat, hal ini menyebabkan timbulnya sikap anti terhadap kawasan konservasi pada masyarakat yang dekat dengan kawasan tersebut. Karena kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam dianggap sebagai bentuk kekuasaan baru yang mengklaim wilayah mereka dengan berbagai pembenaran baik secara politis maupun secara klaim ilmiah ilmu pengetahuan tanpa menghargai hak-hak mereka.

Dengan mendapatkan dana dari internasional terutama yang berasal dari Amerika, NGO Internasional tersebut menjadi semakin besar dan powerfull, karena dapat leluasa bekerja sama dengan NGO lokal serta pemerintah sebagai justifikasi dan sebagai upaya mempermudah dalam implementasinya di negara tertuju dalam hal ini negara-negara berkembang. Dengan semakin kuatnya NGO internasional tersebut, mereka mampu mempengaruhi pemerintah sebagai pemegang otoritas formal dimana sumberdaya alam tersebut berada. Dengan demikian NGO internasional semakin kuat baik secara ekonomi maupun secara politik jika dibandingkan dengan masyarakat setempat yang selayaknya lebih berhak atas sumberdaya alam yang ada.

Saat ini organisasi-organisasi tersebut telah memiliki banyak cabang diseluruh dunia, terutama di negara-negara yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan kritis tentang konservasi dan tentang organisasi konservasi. Kepentingan politik apa dibalik pendanaan-pendanaan yang diberikan kepada organisasi–organisasi konservasi tersebut? Untuk kepentingan siapa gerakan konservasi internasional di negara-negara berkembang? apakah mungkin ini sebagai upaya kontrol sumberdaya alam yang ada dinegara berkembang oleh negara pemenang perang dunia ke II atau sebagai bagian dari teknologi dalam mempertahankan supremasi negara maju terhadap negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah?

Ghonjess

16 Juni 2008

Illegal Planting Yes

Langit tampak biru... kontras dengan tegakkan pohon pinus sebagai bingkai hitam dilatar depan. Sementara sebelah bawah bagian kiri belakang terlihat aliran sungai Ciapus dengan tebing yang dalam dihiasi pola coak-coak goa bekas para penambang pasir. Diantara dua batang pohon yang cukup besar terbentang dua tali secara horisontal. Secara bergantian para mahasiswa mencoba naik keatas, menyeberang dan turun bergantungan dengan harness dan carmantel dinamis bagai sesosok bayangan dinunia persilatan yang lagi meniti perlahan diatas tali yang terbentang. Keriangan tampak memancar dari mahasiswa tingkat satu tersebut ketika melakukan kegiatan outdoor selepas kegiatan rutin di kampus. Ini ternyata hanyalah salah satu pos yang merupakan pos terakhir setelah mereka melalui beberapa pos yang dimulai dari seberang sungai Ciapus. Mereka melakukan suatu kegiatan dalam rangkaian peringatan hari bumi yang diakhiri dengan acara penanaman sekian ratus pohon dilokasi tersebut. Lokasi yang dipilih adalah lokasi terbuka dipinggir kampung bekas lahan perhutani yang kini telah menjadi lahan Taman Nasional.

Memang sejak diselenggarakannya acara oleh UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali Desember tahun lalu, menanam pohon menjadi lebih trend. Tampaknya kampanye tingkat tinggi yang dibintangi Al Gore menuai hasil. Banyak kegiatan yang berjudul menanam pohon ditulis di koran – koran. Berita para elit pemerintah yang mendadak jadi penanam pohon banyak yang muncul di media. Ada yang menanam di pinggir jalan tol, ada yang menanam di bandara soekarno-Hatta, hingga ada departemen yang membuat program nasional Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon. Pendek kata banyak para elit yang mendadak menanam pohon dengan tidak pernah lupa menghadirkan wartawan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari acara-acara yang dilakukan. Tidak ketinggalan juga para NGO, tidak pernah menanam pohon tapi sering ngomongin deforestasi, ceramah sana sini layaknya ahli klimatologi, kampanye minta orang merubah perilaku karena katanya tidak enviromental friendly, tampak jelas termakan dogma kampanye global yang bekerja melalui mass media, sistem pendidikan, pendanaan internasional dan pemerintah yang membebek.

Motivasi tentu menjadi sesuatu yang bisa ditanyakan secara kritis dari apa yang para elit lakukan, jangan sampai sekedar popularitas ’green’ yang akan dikejar sambil cari peluang dapat uang langsung atau melalui akses ke dana-dana internasional yang memang menggiurkan. Atau memang sekedar latah yang memang menjadi ciri dari negeri yang tidak memiliki titik pijak yang kuat, sehingga gampang dikendalikan dan dikontrol oleh konstruksi wacana global. Apalagi untuk itu sudah ada sistem pendanaan dan sitem legalitas internasional yang melindungi. Jadilah..... mereka yang sejatinya bukan ahli menanam pohon dan merawat pohon mendadak banyak bicara atau pingin terlihat seperti yang paling berjasa dalam urusan pohon. Topeng.... topeng.... topeng......

Karena para penanam pohon sejati adalah para petani dan masyarakat di desa-desa yang tau persis kenapa mereka menanam pohon sebagai bagian dari kehidupan mereka. Tanpa wartawan yang meliput, tidak mencari popularitas, tidak pamer atau mengiklankan dari setiap pohon yang mereka tanam, apalagi berambisi meraih akses dana internasional. Mereka tau persis cara menanam dan cara memelihara pohon hingga cara memanfaatkannya dengan sistem nilai mereka sendiri, jauh dari segala bentuk seremonial yang hanya bersifat simbolik semata. Pendek kata penanam pohon sejati bukanlah para elit bangsa baik aparat pemerintah, politikus maupun para NGO yang suka pamer dan haus popularitas itu.

Bagaimana dengan para mahasiswa tersebut.... mereka menanam pohon meskipun tidak tekun memeliharanya, tidak ada wartawan dan popularitas, tidak ada hubungan dengan dana internasional, jauh dari popularitas dan bukan NGO?... apa sekedar menjadi outlet kepenatan tekanan pendisiplinan yang diperoleh di kampus atau di asrama sembari memperoleh nilai positif diantara teman karena menjadi bagian penyelamat bumi? Memang sebuah artikulasi yang menarik....

Diakhir acara ketua pelaksana justru dimarahin pihak Taman Nasional sebagai tuan tanah di tempat mereka menanam pohon. Beruntung ada ketua kelompok tani yang membela ”biar aja pak.. mereka-kan bantu masyarakat” ujarnya. Sambil ngeloyor pergi sang ketua berucap ”Illegal logging NO, Illegal Planting YES”....


Ghonjess

Metallica di Pengadilan Negeri Cibadak

Seraut wajah sayu dengan leher berkalung papan nama setinggi dada jelas menunjukan bahwa orang tua tersebut adalah seorang tahanan. Di papan tertulis G.J.Gibson dengan tiga huruf terakhir terlihat samar sehingga sudah sulit untuk dibaca. Kakek tua tersebut ditahan oleh militer pada tahun 1908 dengan tuduhan telah menangkap seekor berang-berang dengan menggunakan sebuah perangkap di Taman Nasional Yellowstone. Entah apa maksud photo yang ada di national park service tersebut, barangkali ingin memberi tahu pengunjung bahwa kriminalisasi masyarakat sekitar taman nasional sudah terjadi sejak lama, setua umur photo kuno tersebut. Bahkan mungkin sudah terjadi sejak awal taman nasional didirikan mengingat era westernisasi yang pernah mewarnai sejarah di benua tersebut.

Sebelumnya pada tahun 1869 buku Adventures in the Willderness karya William H.H.Murray banyak menarik perhatian publik di region Adirondacks yang kemudian menjadi best seller. Mirip dengan Man and Nature-nya George Perkins Marsh yang telah lebih dahulu terbit lima tahun sebelumnya. Buku-buku tersebut memberi pengaruh yang relevan terhadap imaginasi publik Amerika tentang nature. Pada tahun 1872 the new york state legislature membentuk State Park Commission yang diberi tanggung jawab atas kelangsungan pengawetan hutan di Adirondacks counties. Pada tahun yang sama konggres Amerika mengumumkan berdirinya Taman Nasional Yellowstone sebagai taman nasional pertama di muka bumi. Konsep taman nasional ini kemudian menjadi model yang menyebar keseluruh dunia mengikuti kolonialisme pada era Gold, Glory, Gospel yang sudah terlebih dahulu menyebar pada abad sebelumnya. Konsep dan model taman nasional tersebut juga sampai di Indonesia bersama sifat kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar kawasan yang tetap melekat padanya.

Di kampung Leuwiwaluh desa Cipeutey seorang kakek bersama sang istri berencana untuk memperbaiki rumah mereka yang hampir roboh. Rumah berdinding anyaman bambu yang mereka tempati selama ini memang sudah reot dan tak layak untuk dihuni. Untuk itu mereka harus rela menjual sepetak sawah yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Dengan bermodal uang 500 ribu si kakek ingin mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang ada dibeberapa bagian konstruksi rumah sederhananya, perbaikan memang harus dilakukan dan sudah tidak bisa ditawar lagi.

Untung ia punya seorang teman yang mau membantu keresahannya, suatu rasa kemanusiaan dan kekeluargaan yang lumrah ada di kampung mereka. Sang teman meskipun sudah tua tetapi masih bisa bertukang dan yang terpenting dia membantu tanpa pamrih alias tanpa bayaran. Dua orang kakek tersebut segera membeli setengah kubik balok kayu yang sedang direndam di dalam empang milik rekan mereka di kampung sebelah. Perendaman dilumpur seperti ini sudah menjadi teknologi pengawetan kayu yang mereka sudah ketahui sejak masih kecil secara turun temurun. Namun dalam kaca mata hukum formal hal itu bisa saja dipahami sebagai modus penyembunyian dalam tindak kejahatan. Memang semua ini sebenarnya awal dari bencana yang akan melanda dan mengisi sejarah hidup mereka yang sudah di ujung senja.

Pada suatu malam tanggal 03 Maret 2008 belasan pasukan pengamanan hutan dan pam-swakarsa patroli kekampung dan menangkap mereka. Tanpa seijin kepala desa mereka melakukan operasi dengan dalih adanya dua batang pohon yang hilang di taman nasional. Mereka yang jauh lebih muda dan jauh lebih kuat leluasa memukuli dan menendangi salah seorang kakek serta membawa kedua kakek tersebut ke kantor balai taman nasional. Ternyata sifat dasar para penjajah masih tetap bercokol di republik ini, terwujud dalam birokrat taman nasional yang arogan dan kelakuan-kelakuan mirip opas yang suka main gebuk petentengan keluar masuk kampung mencari mangsa. Begitulah bagaimana kemudian kedua orang kakek ini menambah daftar panjang korban kriminalisasi dari arogansi taman nasional. Memang proses perluasan taman nasional yang sedang dilakukan dan belum selesai tersebut menjadi momok yang meresahkan bagi masyarakat di sekitarnya. Sudah banyak orang yang dipenjarakan hanya karena mereka melakukan kegiatan yang sudah mereka lakukan dari sebelum taman nasional itu ada. Mirip dengan apa yang sudah terjadi di Adirondacks, Yellowstone maupun Grand Canyon yang menjadi protipe taman nasional dunia.

Dari gambar di photo tampak bagaimana dua orang kakek dengan wajah bingung menunduk memendam kesedihan penuh rasa putus asa. Tubuh renta berbalut baju koko putih memberi isyarat ketidakberdayaan manusia di balik jeruji besi tampak begitu nyata. Begitu nyata karena aku sendiri yang mengambil gambarnya. Begitu nyata karena aku sering main kekampungnya. Begitu nyata karena aku melihat ekspresi kesedihan dan ratapan sang istri dan sanak keluarga setiap kali bertemu diruang tahanan pengadilan. Begitu nyata bahwa mereka yang harusnya melindungi rakyat kecil berprilaku dan berwatak sama saja kalau tidak mau dikatakan lebih buruk dari para penjajah. Begitu nyata karena pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa merekalah yang mencuri kedua pohon yang hilang seperti yang dituduhkan. Begitu nyata ketukan palu hakim pada tanggal 12 Juni 2008 menyatakan mereka bersalah tanpa mereka paham apa kesalahannya. Begitu nyata bahwa kita belum merdeka.

Tangisan mewarnai sudut-sudut gedung pengadilan, di ruang tahanan, koridor, di mushola hingga di kamar mandi. Kekecewaan.... kepiluan.... kemarahan.... dan ketidakberdayaan dari orang-orang kecil memancarkan suasana haru kantor pengadilan. Semua perasaan bercampur aduk membentuk harmoni perlawanan yang masih terpendam. Dalam jiwa bergejolak penuh emosi, sekeras tabuhan drum Lars Ulrich, setajam sayatan gitar Kirk Hammett, segarang betotan senar bass Jason Newstad dan selantang teriakan serak James Hetfield :

Justice is Lost…. Justice is Raped…. Justice is Gone....


Ghonjess

09 Juni 2008

Jumpa Penggemar (pencela?)

Jum’at malam biasanya kedai Telapak dipenuhi oleh pengunjung yang mampir karena mungkin sedang menunggu sanak saudara yang turun dari bus Damri atau mereka yang sekedar janjian sama teman sebelum ngadem bareng di Botani Square. Kadang ramai juga oleh mereka yang suka mencari hot spot gratisan dengan dandanan layaknya eksekutif muda atau gaya gaul anak masa kini yang hobi melototin screen laptop keluaran terbarunya. Tapi malam itu (30 Mei 2008) tampak berbeda. Mereka tidak terlihat... Mungkin mereka sudah datang dan kemudian pergi karena bangku-bangku yang ada sudah ditongkrongin karton segitiga bertuliskan reserved sebagai pertanda tempat tersebut sudah dipesan. keliatannya ada acara penting sampai sang manajer merelakan mengecewakan para langganan tetapnya. Atau mungkin kedai dibayar mahal untuk acara yang akan dilakukan.....? Siapa orang-orang yang mau kumpul....dalam rangka apa...? Jangan-jangan persiapan besoknya 1 Juni untuk ritual kesaktian Pancasila yang sampai sekarang belum juga sakti mandra guna, atau rencana buat aksi yang sekarang lagi ngetrend... kenaikan BBM....? atau ada diskusi soal sumberdaya alam.... ? Atau diskusi serius tentang penyelamatan bumi (satria baja hitam kalee..) karena konon katanya langit sudah mau runtuh...

Lihat saja yang hadir.... orang-orang penting semua...... ada seorang akademisi yang sudah kondang dengan segala sepak terjangnya dalam isu sumberdaya alam, namanya tertulis dibuku Hutan Kaya, Rakyat Melarat (Rich Forests, Poor People)-nya Nancy Lee Peluso; ada seorang aktivis yang terkenal akan kegigihannya memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat, baru pulang ketanah air setelah ketemu Juan Evo Morales Ayma presiden Bolivia; ada seorang antropolog muda yang lagi nyantri di negeri Paman Sam, muridnya penulis buku Wild Profusion Celia Lowe; Ada lagi orang partai yang mengkonsep pidatonya Megawati, yang membuat Mega di calonkan lagi jadi presiden oleh partainya. Ada pengusaha muda di perusahaan otomotif terbesar di Indonesia. Ada forest campaigner greenpeace yang didampingi sang guru berambut putih disampingnya, meskipun yang diajarkan sang guru tentang ekologi, bukan gimana borgol tangan ke pintu atau gimana ngasepin dan ngelumpurin instansi pemerintah; ada beberapa aktivis LSM; dan ada banyak mahasiswi yang cantik-cantik dan mahasiwa yang sangar-sangar... itu cuma beberapa dari semua yang hadir, karena ternyata hadir juga seorang Pecinta Alam gaib, level lebih lanjut dari seorang Pecinta Alam .

Tampaknya serius banget ini acara...

Setelah di jelasin oleh yang punya gawe, ternyata orang-orang penting ini punya keinginan yang sama, yaitu jumpa sama idola mereka. Seorang tokoh yang melegenda karena dedikasinya. ”dia melegenda karena loyalitasnya kepada Lawalata”, ucap mantan aktivis mahasiswa 80-an yang dulu sering mondar-mandir diruang senat. Itu terbukti pada saat sang idola berbicara ”dalam bekerja saya tidak pernah pakai ilmu Kehutanan yang di ajarkan di kampus, tapi ilmu Lawalata” ucapnya tegas, yang diamini oleh beberapa orang melalui cerita pengalaman mereka ketika ada gawe Sulawesi Tengah.

Berbeda dengan acara jumpa penggemar pada umumnya yang di ramaikan dengan acara minta tanda tangan dan poto bersama, acara ini keliatan lebih seperti pertemuan keluarga besar. Yang hadir terlihat pada ketawa terbahak-bahak karena bisa mencela sang idola.... sang idola pun terpingkal-pingkal. Begitu juga dengan yang lain, saling mencela dan mentertawakan satu sama lain.... selalu terdengar tawa lepas bahagia kalau ada yang bisa dicela.... dan yang tercela pun terlihat tertawa tulus penuh kebahagian... sungguh orang-orang yang aneh..... ”gua kalo udah tua caur begini gak ya...” tanya seorang mahasiswi anggota ekspedisi putri Rinjani dalam pertanyaan yang imajinatif. Dalam hatiku ”sekali menjadi anggota Lawalata.... akan tetap menjadi Lawalata.... Cauuur...” Namanya aja Lawalata... Lawak Lagu dan Tari.... he.. he..he..

Tak terasa hari semakin larut, orang-orang pada saling berpamitan. Mungkin lelah diakhir minggu setelah sekian hari tenggelam dalam rutinitas kerja. Sang manajer kedai terlihat terbaring di sofa dalam kantor Telapak yang gelap. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin bahagia karena bertemu keluarga besarnya, atau sedih karena yang datang banyak... nongkrongnya lama... tapi pesanan makanannya dikit..... he.. he.. he...

Ghonjess