see the world

see the world

11 Januari 2008

Memahami Laporan

Tulisan dalam bentuk laporan yang dibuat oleh NGO menurut anggapan secara umum sering disamakan dengan kenyataan empiris yang dianggap bisa diuji dengan pengamatan indrawi. Padahal dalam prakteknya laporan tersebut tidak luput dan tidak bebas dari unsur imajinasi yaitu: gagasan, perasaan, kenangan-pengalaman, dan intuisi dari mereka yang terlibat dalam proses penulisan. Gagasan tentang kerusakan hutan, perasaan tidak adil atas keputusan pemerintah, pengalaman pendidikan, dan intuisi adalah sesuatu yang hidup, suatu proses, suatu kegiatan jiwa yang membangun imajinasi. Dengan demikian kalimat-kalimat yang membentuk laporan tersebut tidak sekedar suatu unit dari bahasa, akan tetapi unit dari ujaran atau diskursus yang merupakan gejala kebahasaan yang melampaui batas kata. Diskursus tersebut mengalami fiksasi menjadi teks yang berdiri sendiri terlepas dari penulisnya, sehingga memperoleh potensi makna yang bersifat universal, yang melampaui ruang dan waktu semula, dalam hal ini telah mengalami dekontekstualisasi.

Persoalan diatas tidak terlepas dari persoalan bahasa, yang dapat kita lihat secara utuh sebagai sistem dan proses, sebagai struktur dan diskursus. Sehingga bisa dikatakan bahwa bahasa adalah penggunaan yang tak terbatas dari sarana yang terbatas. Dalam pemahaman bahasa yang demikian kita perlu menganggap penting akan kreativitas manusia, para pembuat laporan di atas bisa dijadikan salah satu contohnya. Bahasa sebagai sistem tanda hanya bersifat potensial dan abstrak, akan menjadi aktual dan konkret hanya melalui diskursus, tanpa diskursus struktur bahasa bersifat mati. Dialektika bahasa antara struktur dan diskursus tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa lapisan, yaitu pada tingkat kata, kalimat, dan interpretasi teks.

Tiap kata yang kita jumpai dalam laporan yang ada hanyalah memiliki arti potensial. Arti itu baru menjadi aktual dalam diskursus ketika digunakan untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Dalam hal ini kata dalam kamus termasuk dalam tatanan semiotis, dan kata dalam diskursus menjadi komponen semantis. Benveniste, membedakan semiotik dan semantik, dengan pengertian bahwa yang satu tidak bisa disub-ordinasikan pada yang lain. Semiotik berurusan dengan bahasa sebagai sistem tanda (langue) dengan unsur terkecil adalah kata sebagai tanda, sedangkan semantik menyelidiki diskursus (discourse) dimana unsur terkecilnya adalah kalimat. Bidang semiotik dan semantik, langue dan discourse, tanda dan kalimat, merupakan dua lapisan bahasa yang tidak bisa direduksikan satu terhadap yang lain.

Perbedaan sifat lainnya antara kata dan kalimat yaitu kalimat sebagai peristiwa ujaran bersifat sementara, sedangkan kata sebagai kata selalu tersedia untuk penggunaan arti baru secara terus-menerus. Dan karena kata selalu dipakai terus-menerus dalam konteks baru, kata memiliki sejarah, ia mengalami inovasi arti, dengan demikian kata bisa mendapat lebih dari satu arti (polisemi). Tapi bagaimana mungkin kata dengan arti majemuk dapat berfungsi di dalam pembicaraan sehari-hari tanpa menimbulkan salah paham? Secara umum kita dapat mengatakan bahwa arti persis sebuah kata bergantung dari saringan konteks. Yang dimaksudkan dengan konteks bukan hanya tempat kata di dalam diskursus, melainkan juga lingkup sosial yang turut mewarnai makna sebuah kata.

Kata penebangan kayu yang sering diasosiasikan dengan kerusakan tentu akan berbeda jika kita berbicara dalam konteks eropa pada awal industrialisasi, pada masa itu mungkin penebangan kayu diasosiasikan dengan kemajuan. Juga memiliki makna yang berbeda jika kita lihat dengan persepsi dan perspektif yang berbeda. Dengan demikian kita harus melihat laporan tersebut tidak sebagai kenyataan empiris atau sebagai realita secara seutuhnya, di dalamnya ada intensi dari penulis melalui diskursus yang ingin disampaikan. Selayaknya ujaran (speech), teks merupakan sebuah diskursus yang telah dibekukan dan terdokumentasi dalam wujud tertulis. Implikasinya adalah makna dalam teks dimengerti dengan jalan pencocokan (appropriation): seorang pembaca mengaktualkan situasi ujaran dengan mengkonstruksi makna teks berdasarkan pengalaman pribadinya.

Masalah interpretasi sejak lama sudah menjadi pembahasan para filsuf, Schleiermacher coba selesaikan masalah hubungan antara dua bentuk interpretasi yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi teknis (psikologis). Berangkat dari pertanyan bagaimana bahasa yang bersifat umum dapat mencerminkan pikiran orang yang khusus (partikular)? Ia menawarkan lingkar Hermeneutik sebagai upaya untuk menafsirkan sesuatu melalui dialektika antara interpretasi gramatikal dengan interpretasi teknis (psikologis). Interpretasi gramatikal dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam bahasa. Proses ini dapat menghasilkan interpretasi positif, yaitu diperolehnya pemahaman (understanding) dan bisa juga interpretasi negatif, yaitu mendapatkan kesalahpahaman (misunderstanding). Menurut Schleiermacher, makna yang diperoleh dari proses interpretasi ini berupa proposisi atau makna yang sudah dibakukan oleh konvensi sosial.

Interpretasi teknis (psikologis) bertujuan untuk mendapatkan fakta yang ada dalam pikiran penulis atau dengan kata lain upaya untuk memahami penulis. Untuk memperoleh pemahaman tersebut dilakukan melalui divinatory interpretation, yaitu usaha kita untuk melakukan identifikasi dan empati terhadap penulis agar dapat menghayati penulis sebagai individu yang unik (partikular), serta comparative interpretation melihat penulis sebagai satu contoh kasus dari satu tipe yang umum dari berbagai pengarang yang diketahui (general). Dialektik yang bersifat sirkular dari sesuatu yang umum dan yang khusus tersebut yang memungkinkan terjadinya style atau gaya dalam suatu penulisan. .....huuuh..... ruwetnya......

Ghonjess

Hairtails

Sedikit cerita dari Cibangban

Malam itu malam Minggu, di depan tenda ’Dome’ di atas pasir yang lembut dan hangat di pantai Cibangban, Kopral, Willis, Melly dan Dian di komandani oleh yudi yang bertelanjang dada asyik membakar ikan Layur, sementara Curut dan Hilbul, dua orang anggota tim ekspedisi putri Rinjani ini sibuk mengupas bawang merah - bawang putih, potong-potong cabe buat ’bumbu kecap’ teman makan ikan yang sedang dibakar diatas bara api. Ada juga yang sedang menanak nasi atau bantu Wiyan ketua BPCA yang lagi sibuk dengan ’mpca-nya’, atau mungkin ada juga yang sekedar melamun entah ngelamunin apa. Ceritanya Ikan Layur menjadi menu malam itu.

Kang Ude seorang nelayan Cibangban, dari dia kita memperoleh ikan layur dengan harga Rp 8000 /kg, ”udah kesorean mas belinya... ikan saya sudah habis, nanti saya carikan disebelah sana.... kali masih ada” ujarnya. Kang Ude sedang di bale-bale sebuah warung dekat perahunya yang lagi sandar waktu pertama kali kita temui. Dia sedang asyik mempersiapkan peralatan buat ’melaut’ ”siap – siap buat nanti malam mas...” ucapnya, mata pancing nomor 9 sedang disambung dengan kawat sepanjang kira-kira 10 cm, ”kalo gak gini pasti putus mas, ikan Layur giginya tajem” dia menjelaskan sambil memutar kawat dengan tang. Satu persatu mata pancing disambung kawat dengan membentuk lingkaran kecil seukuran ujung paku diujung satunya, lingkaran kecil tersebut digunakan sebagai tempat mengikat nilon nomor 400 yang digunakannya. Kali ini dia menggunakan lebih dari 100 mata pancing untuk satu rangkaian panjang pancing Rawainya, ”kalo di Pelabuhan Ratu bisa sampai 1000 mata pancing mas.... panjangnya aja sampe beberapa kilometer” kang Ude menjelaskan lagi.

Nelayan Cibangban berangkat melaut dini hari mulai pukul 03.00, paling lambat mereka berangkat pukul 04.00. Dengan menggunakan perahu kecil bercadik dengan mesin 7 PK, serta peralatan memancing rawai dan penerangan petromaks mereka melaju ke fishing ground, ketika ditanya jaraknya dari pantai berapa jauh mereka jawab ”kira-kira habis 1 liter solar kita baru sampe mas...” dan mereka kembali ke pantai Cibangban kira-kira pukul 10.00 – 11.00 , begitu merapat telah banyak pembeli yang datang dengan menggunakan sepeda motor beserta box ikan berwarna putih yang diikat dibagian belakang motornya.

Kang Ude merupakan salah satu dari sekitar 16.000 nelayan tradisional yang tercatat di Kab. Sukabumi yang tersebar di Pelabuhanratu, Cisolok, Cibangban, Ujunggenteng, Minajaya, Ciwaru, yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi terbentang mulai dari Kecamatan Tegalbuleud sampai Kecamatan Cisolok dengan panjang pantai sekitar 117 kilometer. Di wilayah ini ada 4 TPI (tempat pelelangan ikan) yaitu dua di Kecamatan Cisolok yaitu TPI Pajagan dan TPI Cibangban, dan dua lagi berada di Kecamatan Pelabuhan Ratu yaitu TPI Pelabuhan Ratu dan TPI Loji.

Kang Ude menggunakan alat tangkap jenis pancing Rawai (other drift long line), jenis alat pancing yang menggunakan rangkaian sejumlah pancing yang diberi pemberat diujungnya dengan sejumlah pelampung disepanjang tali nilon ukuran 400 yang dioperasikan secara sekaligus. Cara ini dilakukan dengan dihanyutkan (drifting) atau diseret perlahan dengan perahu selama 2-3 jam kemudian ditarik untuk diambil hasilnya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan ada beberapa jenis pancing rawai, diantaranya Rawai Tuna (tuna drift long line), Rawai Tetap, Rawai Dasar Tetap dan Rawai hanyut lainnya selain Rawai tuna (other drift long line). Mungkin saja yang dimaksudkan kang Ude menggunakan 1000 mata pancing lebih adalah Rawai Tuna, karena biasanya alat pancing jenis ini menggunakan 1000 – 2000 mata pancing untuk sekali turun, tentu menggunakan perahu bemotor yang lebih besar dan tenaga kerja yang lebih banyak.

Menurut Ditjen Perikanan (1979), Ikan Layur (trichiurus spp) atau di Sibolga biasa disebut ikan Baledang tersebar disebagian besar perairan pantai di Indonesia, juga terdapat di perairan Jepang, Philipina, Teluk Benggala, Teluk Siam, Sepanjang Laut Cina Selatan, pantai utara Australia hingga di Afrika Selatan. Ikan ini memiliki bentuk badan yang panjang dan gepeng seperti pita, biasanya memiliki panjang 70 – 80cm tapi pernah juga ditemukan hingga 150cm . Memiliki mulut yang lebar dan tidak bersisik dengan warna keperak-perakan. Kedua rahangnya dilengkapi dengan gigi yang kuat dengan rahang bawah lebih menonjol daripada rahang atasnya.

Ikut nelayan pancing rawai melaut menurutku menyenangkan, sekedar berbagi cerita beberapa tahun yang lalu aku pernah ikut nelayan pancing rawai Pulau Saponda, di Kendari propinsi Sulawesi Tenggara. Seru..., waktu line yang terdiri dari rangkaian 85-an mata pancing ditarik keatas perahu, ternyata lebih banyak yang ’isi’ dari pada yang ’kosong’, beberapa ikan yang tersangkut di mata pancing didapat tinggal sepotong, bagian perut hingga keekor telah hilang. Ternyata lumba – lumba ikut ’nimbrung’ pesta ikan tersebut. lumba-lumba secara berkelompok terdiri dari 3-4 ekor dengan cerdik nyaplokin ¾ badan ikan –ikan yang lagi ditarik tanpa menggigit mata kailnya... sesekali mereka mendekat hingga 4 – 5 meter dari perahu. Nelayan yang mengendalikan motor sesekali berteriak ”hush... hush... hush ...” seperti petani yang sedang panen sibuk menghalau burung pipit yang makan padi..... dan si lumba-lumba seperti meledek sesekali berakrobat lompat diatas permukaan air...... byuuuur..... Tidak tau apakah nelayan di Cibangban juga mendapati peristiwa seperti itu. Mudah – mudahan lain waktu bisa ikut nelayan melaut disana....

Plastik hitam digelar diatas pasir, ditengah dibuat sedikit cekung untuk tempat sambal kecap buatan Curut dan Hilbul. Nasi dan ikan Layur bakar ditata melingkar disekitarnya. Senang rasanya makan keroyokan, yang terlihat hanya tangan – tangan silih berganti mencomoti nasi, ikan dan sambal. Anas tidak lupa mengingatkan ”...awas ikan Layur banyak durinya..” ada juga yang mengingatkan ”.. hoi... kakinya dijaga.... ini nasi udah bercampur pasir.... ”

Kebersamaan memang indah....

Ghonjess

09 Januari 2008

Dinginnya Tahun Baru

tanpa terompet... asap kendaraan... konvoi deru mesin.... dan kembang api....

hanya riuh dahan-dahan gemeretak bersama gemuruh angin

kabut dingin menerpa wajah menusuk tulang

cahaya-cahaya senter berpendar menabrak kabut tebal

barisan beransel menapak menurun mendaki

bergerak bersama waktu melalui batas tahun

Selamat tahun baru 2008

Memang ada sedikit keraguan ketika kuputuskan untuk berangkat, karena ada beberapa telepon dan sms yang mengajak tahun baruan bareng, dari pak RT, teman kerja, teman sekolah, juga teman-teman lama seminggu sebelumnya. Aku memutuskan pergi sendirian menyusul adik-adikku di club Pecinta Alam kampus yang sudah berangkat tadi malam ke gunung Salak. Sempat ada keraguan untuk naik sendirian, ragu karena informasi keberadan mereka tidak jelas.... ada kemungkinan tidak bertemu rombongan.... entah kenapa aku buang semua keraguanku, Senin pagi kubersihkan ransel berdebu yang kuambil dari dalam peti, juga senter dan peralatan standar lainnya yang ternyata sudah tidak banyak tersisa. Kutemukan Victorinox dan karabiner kecil kong-bonaiti yang saling terkait dengan tali prusik, juga jaket anorak warna merah kebanggaan yang kumiliki sejak tahun 93. Tak lupa kubawa rain coat yang kutemukan dalam lemari mengingat saat sedang berada di puncaknya musim hujan bulan Desember. Beruntung aku sudah punya Aigle shoes mountain ringan bersol vibram yang pakem di jalan tanah, sangat membantu kalau lagi musim hujan begini. Maklumlah... aku sudah cukup lama tidak melakukan hal yang dulu paling ku gandrungi...

Masih pagi ketika sampai di kampung Tapos, kampung kecil yang sudah cukup lama kukenal. Setelah menyapa, permisi, dan berbincang ringan dengan beberapa orang aku langsung melanjutkan perjalananku. Hujan rintik-rintik mulai terasa ketika batas kampung mulai kutinggalkan. Jalan setapak di antara petak-petak kebun sayuran terasa semakin terjal mendaki, sesekali kupandang kebelakang tampak kampung sudah jauh di bawah. Diujung punggungan aku berhenti, jalan bercabang masing-masing ke arah dua punggungan yang berbeda. Aku berhenti sebentar, karena tidak tahu dipunggungan mana arah teman-teman semalam, sekalian mengeluarkan rain coat karena hujan semakin deras.

Aku mulai menjajaki jalur kanan beberapa saat.... kemudian melambung kepunggungan sebelah kiri, ku coba untuk orientasi medan. Hujan semakin deras bersama angin kencang yang membelokkan arah jatuhnya air. Air mengalir dari balik rambut menelusuri tengkuk menyelinap ke punggung membasahi kaos di balik raincoat. Aku rasakan kenikmatan yang sudah lama tidak kurasakan, membiarkan tetes demi tetes air hujan menghujam kewajah... membasuh semua kepenatan di otakku.... angin yang semakin keras membuat jejaran pohon menjadi hidup, menari berputar-putar bersinggungan satu dengan yang lain.... memaksaku untuk berhenti dan menghindar disebuah batu di ujung punggungan yang lebih terbuka di pinggir kebun nanas.... kuhindari resiko tertimpa dahan yang patah. Dari situ kupandang kampung yang terlihat kelabu tersamarkan gelapnya langit dan derasnya hujan... entah kenapa... aku merasakan kedamaian....

Lama kupandang kampung dibawahku .... ditengah guyuran air hujan sambil kukupas nanas dengan victorinox yang sudah lama tak kugunakan. ya... lebih dari sepuluh tahun lalu aku sempat meragukan apakah bibit nanas akan membantu menyelesaikan masalah dan benar-benar akan ditanam oleh mereka. waktu itu hari jum'at aku diundang pertemuan kampung, pertemuan dimulai setelah jum’at-an dan berakhir menjelang magrib. Mereka mengutarakan hasil obrolan mereka.... yang menurutku keputusan yang sederhana mengingat lama pertemuan yang dilakukan.... ”kami butuh duit 2 juta untuk sewa truk dan beli bibit nanas...” ucap wakil mereka mantap. Sekarang... sepuluh tahun kemudian, bersama dingin yang kurasakan aku dapat melihat hasil dari keputusan yang brilian dari para mereka yang sering diremehkan... sering dianggap bodoh... sering dianggap terbelakang.... dan sering dipinggirkan.

Ah… kulanjutkan perjalanan….. mendaki setapak demi setapak....


Ghonjess