see the world

see the world

28 Juli 2008

Seluruh Tanah Air Indonesia adalah Kawasan Konservasi

Membaca judul di atas yang dianggap sebagai philosophy dari sebuah organisasi (Telapak) tentu tidak sesederhana dengan melihatnya sebagai tujuh kata yang terangkai membentuk satu kalimat tanpa dasar. Karena memang dari awal, kalimat tersebut tidak dimaksudkan hanya untuk keren-kerenan atau hanya sekedar mencari sensasi belaka. Ada proses dialog dari orang-orang yang terlibat atau yang kemudian terlibat di dalamnya. Meskipun hanya sekedar dialog ‘ringan’ sambil ngopi atau sambil main karambol, tidak sepolitis rapat anggota DPR, seserius diskusi para akademisi atau se-ambisius lokakarya LSM.


Kalimat tersebut mengkritik bahkan menggugat pandangan umum tentang kawasan konservasi yang menjadi wacana pemerintah dimana kawasan konservasi diartikan sebagai suatu kawasan khusus yang diberi label tertentu melalui ketetapan hukum. Kawasan yang dikontrol guna menjadi penyeimbang atas pembangunan yang dilakukan sebagai wujud pemenuhan ketentuan internasional. Tentu hal ini menimbulkan keresahan, karena penetapan tersebut dapat menjadi pembenaran bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan dengan pola eksploitasi pada kawasan di luar kawasan tersebut seperti HPH, perkebunan skala besar, pertambangan dan pembangunan agresif wilayah perkotaan. Padahal hal tersebut yang justru banyak memberi kontribusi terhadap rusaknya keseimbangan ekologi secara keseluruhan di tanah air.


Dampak dari pembangunan yaitu banjir dan longsor yang kemudian sering terjadi dapat menunjukan bahwa cara pandang seperti itu jelas salah karena masalah ekologi memang tidak bisa dilihat dengan cara kapling perkapling tetapi harus secara holistik, secara menyeluruh. Apalagi peristiwa banjir dan longsor yang terus terjadi tidak dijadikan bahan pembelajaran bagi pemerintah untuk melakukan perubahan dari pola yang ada, justru dijadikan pembenaran lain bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan kontrol terhadap dan akses kepada kawasan konservasi yang sudah ditetapkan. Kapling-kapling kawasan yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran inilah yang menjadi kritik utama dari kalimat judul tersebut.


Yang menyedihkan adalah upaya yang dilakukan pemerintah untuk menutupi kesalahan-kesalahan akan dampak yang timbul. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik memungkinkan melakukan konstruksi wacana bagi publik dengan cara mengorbankan kelompok masyarakat yang paling lemah. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian selektif, sistem pendidikan, politik pendanaan dan media masa dan kadang melibatkan LSM lingkungan serta perguruan tinggi. Mereka yang sering dijadikan kambing hitam atas ’dosa-dosa’ yang dilakukan pemerintah yaitu masyarakat yang berada di pinggir kawasan konservasi, petani di hulu (up-land) dan juga orang-orang miskin kota yang tinggal di pinggir sungai. Kambing hitam bagi perusahaan skala besar yang gila-gilaan menggunduli hutan dan pembangunan perkotaan yang agresif sehingga meningkatkan run off dan mematikan resapan air.


Jadi penetapan kawasan konservasi atau teritorialisasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak melulu soal konservasi seperti yang banyak diajarkan di sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Teritorialisasi berupa penetapan suatu kawasan merupakan upaya negara untuk mengontrol suatu wilayah yang tidak sekedar khusus merujuk pada aspek geografis atau lokasi saja, akan tetapi memiliki dimensi sosial, ekonomi dan politik.


Judul diatas menawarkan gagasan pemikiran tertentu yang memandang persoalan lingkungan lebih holistik sebagai satu kesatuan ruang secara menyeluruh. Sehingga persoalan lingkungan tidak dilihat dalam arti yang sempit hanya dari segi hidro-orologis, ekologis, geologis, bio-geografis, dan klimatologis saja, tetapi melihat adanya relasi sosial antar manusia yang menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sehingga tidak seperti pemikiran umum yang melihat persoalan lingkungan berdasarkan analogi gampangan antara masyarakat dan alam saja. Disini dilihat bahwa relasi manusia dengan alam ditentukan dan dibentuk oleh relasi antar manusia satu dengan manusia yang lain. Dominasi manusia atas alam berakar dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Sehingga penghapusan dominasi manusia terhadap alam memerlukan penghapusan dominasi yang terjadi di dalam masyarakat manusia, jadi lebih dekat dengan pendekatan ekologi sosial.


Sampai disini terlihat bahwa kalimat tersebut juga menunjukan sikap politik yang tegas atas apa yang dilakukan pemerintah. Mempertanyakan dominasi negara atas sumberdaya alam yang justru banyak menimbulkan permasalahan bangsa. Apalagi penunjukan kawasan konservasi tersebut atas desakan internasional melalui bujukan dana dan NGO, sehingga kawasan tersebut hanya menjadi panggung drama yang mempertontonkan lemahnya pemerintah. Sehingga kalimat tersebut juga menuntut penghapusan segala bentuk hirarki dan dominasi antar manusia agar tidak terjadi dominasi manusia terhadap alam. Meskipun tidak sampai kepada jawaban atas pertanyaan klasik tentang kemungkinan sebuah sistem politik tanpa hierarki dan dominasi. Atau sedalam pergulatan pemikiran politik ekologi, paling tidak disini sudah ada gagasan dan imajinasi bahwa masyarakat harus memiliki tatanan sesuai prinsip-prinsip tertentu yaitu prinsip keadilan ekologi.


Jadi kalimat di atas di dalamnya tersirat makna yang lebih luas dari sekedar arti harfiahnya. Tidak sesederhana membalikan arti harfiahnya menjadi “tidak ada kawasan konservasi di tanah air Indonesia”. Ada perasaan-resah, gugatan-kritik, cita-cita, gagasan dan sikap politik yang bisa membentuk imanjinasi tertentu. Imajinasi tentang tanah air Indonesia... Kalau memang seperti itu, ini berarti lebih baik dibandingkan partai politik jaman sekarang yang menurut Goenawan Mohamad mirip toko, lapak, warung, yang berjualan menjajakan diri kepada rakyat tanpa imajinasi. Sehingga tidak mampu menjembatani antara subjektivitas dengan universalitas.


Mudah-mudahan dengan tulisan ini dapat memberi rangsangan agar kalimat diatas bisa ‘lebih hidup’ menuju artikulasi dari para anggota guna membentuk sebuah imajinasi kolektif dari sebuah organisasi gerakan yang bernama Telapak. Sebuah imajinasi tentang tatanan sosial yang lebih baik...



Ghonjess

26 Juli 2008

Aliran Sungai dalam Diriku

Ketika lagi asyik nonton tv di rumah, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Dengan enggan kuangkat untuk menjawab karena nomer yang muncul bukanlah nomor yang aku kenal. Memang kadang timbul rasa enggan untuk mengangkat panggilan telpon dari nomer yang tidak dikenal.. apalagi malam-malam ketika lagi asik di rumah bersama keluarga. Rasa enggan hadir karena bimbang tidak tahu siapa yang akan diajak bicara di seberang sana. Mungkin teman kerja, teman sekolah, keluarga, tetangga atau sekedar sales yang mau menawarkan up-grade kartu kredit, bahkan kadang hanya salah sambung. Hal ini yang membuatku sebel kalau ada teman atau kolega yang sering gonta ganti nomer HP.


Dari logat bicaranya aku sudah bisa tebak dari mana asal telepon... Sintang .... teman lama.... sehingga aku pindah ke bangku luar di halaman sebelah supaya pembicaraan lebih santai. Pendek kata kami-pun ngobrol ngalor ngidul saling bercerita dari soal bagaimana kehidupan keluarga masing-masing hingga cerita masa lalu ketika masih sekolah dulu. ”aku masih ingat waktu kau bantu nyelesaiin soal matematikaku” begitu ia memulai membawaku flash back ke masa 20 tahun-an yang lalu. Pembicaraan sempat terputus sebentar karena aku harus telepon balik untuk berbagi biaya pulsa dengannya. Kami akhiri pembicaraan melalui telepon tersebut setelah lebih dari satu jam kami bercakap-cakap. Sudah cukup menyirami rasa ingin tahu kami satu sama lain.


Menjelang tidur... sambil bergolek diranjang angankupun melayang jauh kemasa lalu. Terbayang riuh suara kapal motor yang lalu lalang di sungai Kapuas yang menjadi urat nadi kota Sintang dan kota-kota lain yang dilaluinya. Memang sungai terpanjang di Indonesia tersebut tak pernah bisa kulupakan. Karena disitulah pertama kali aku bisa berenang sewaktu aku masih SD. Menjadi arena bermain dengan teman-teman masa kecilku. Terjun dari atap kapal Bandung dengan menyelipkan bilah-bilah kecil potongan atap sirap dijari kaki, membawanya jauh kedalam air dan berlomba mencarinya kembali setelah dilepaskan. Berenang berkejaran di arus sungai dengan sesekali menyelam untuk menghindari yang ”jadi” agar tidak tertangkap. Menyelinap menyelam kebawah ”lanting” bersembunyi diantara dua log kayu besar yang dijadikan pelampung. Permainan lain yang juga asyik adalah naik kebagian depan ”alkon” atau ”Junjung Buih” dan kemudian terjun ketika sudah agak jauh kearah tengah sungai, dilanjutkan dengan berlomba berenang ketepian.


Seingatku dulu sungai ini sangat sibuk. Perahu kecil bermesin 2pk (alkon) dengan atap dan tempat duduk memanjang dari depan kebelakang, selalu hilir mudik setia menyebrangkan penumpang dari seberang yang satu ke seberang yang lain. Sementara kapal feri dari besi yang bernama ”Junjung Buih” menyeberangkan mobil dan motor serta kendaraan lain yang lebih besar. Kapal Bandung yang mirip supermarket berjalan, bergerak perlahan menyusuri sungai dari kota satu ke kota yang lain membawa barang-barang dagangan. Selain itu berbagai jenis kapal air seperti speedboat, longboat juga kapal klotok tiada henti membuat gelombang yang menghempaskan air ditepian. Pada malam hari sering terlihat rakit-rakit log kayu panjang milik HPH bergerak pelan seperti monster air raksasa mengikuti arus air dari kawasan hulu menuju ke hilir.


Tentu sekarang sudah banyak mengalami perubahan, sungai sudah tidak semeriah dulu lagi. Di atas dua sungai yang menjadi poros kota Sintang, yaitu sungai Melawi dan sungai Kapuas sudah melintang jembatan besi permanen. Alkon sudah tidak sebanyak dulu, junjung buih sudah menjadi monumen sejarah masa lalu berbentuk besi karatan dipinggir sungai. Jalan raya antar kota sudah beraspal, kapal-kapal bandung mulai berkurang tergantikan oleh truk-truk besar. Tak ada lagi rakit kayu milik HPH karena hutannya sudah habis. Begitu juga dengan para anak-anak dan remajanya, mereka tidak lagi berkejaran disungai. Memodifikasi sepeda motor dan menjadi free styler lebih digandrungi.


Sungai ini memang indah, berkelok-kelok sepanjang kurang lebih 1100 km mengukir daratan Kalimantan yang cenderung datar dan membentuk meander dan oxbow lake dari Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, Sanggau hingga ke pesisir di Pontianak. Begitu pentingnya sungai ini bagi masyarakat sampai ada mitos yang sering kudengar dari kecil bahwa barang siapa yang pernah minum air sungai Kapuas, dia akan kembali lagi ke Kalimantan. Wajar jika para kolonial diabad 19 senang melakukan ekspedisi menyusuri sungai-sungai di kalimantan.


Tercatat ekspedisi atau petualangan yang dilakukan kolonial di Kalimantan, diantaranya Alexander Hare di Banjarmasin (1812), James Erskine Murray di Kutai (1844), Robert Burns di Sarawak (1848) dan juga Dalton (1828). Sementara yang menjelajah Borneo hingga kedalam adalah Muller (1825) yang diduga tewas terbunuh di Kapuas Hulu. Hampir 70 tahun kemudian setelah ekspedisi Nieuwenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan pegunungan di tengah kalimantan tersebut di beri nama Pegunungan Muller.


Untuk melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh Muller, melalui badan penasehat (Indisch Comite) Perhimpunan untuk Memajukan Penelitian Alam di koloni Belanda (Maatscappij ter bevordering van het natuurkundig onderzoek der Nederlansche Kolonien) di Amsterdam kemudian memutuskan mengorganisir ekspedisi di Borneo Tengah untuk eksplorasi ilmiah di hulu Sungai kapuas dan cabang-cabangnya. Entah karena mitos sungai Kapuas atau tidak, ekspedisi yang dipimpin oleh DR Anton W Nieuwenhuis ini dilakukan sampai tiga kali. Ekspedisi pertama (1893-1894); ekspedisi kedua (1896-1897) dan Ekspedisi ketiga (1898-1900).


Tentu bukan mitos tersebut yang membuatku malam ini seperti terbang kembali ke Sintang. Karena aku tidak hanya minum air sungai kapuas, tetapi aliran sungai kapuas hingga kini mengalir deras dalam diriku. Sehingga meskipun sudah hampir dua puluh tahun aku tinggal di Bogor, aku sebenarnya tidak pernah meninggalkan Sintang. Kota yang terletak di tanjung sungai Kapuas tempat aku dibesarkan dan tempat dimana bapakku dikuburkan.



Ghonjess

23 Juli 2008

Ada Galih di majalah

Membaca majalah tempo edisi sebelumnya yang mengulas seorang pelaku sejarah yang bernama Natsir cukup menarik.... bercerita tentang seorang anak bangsa yang sadar akan siapa dirinya, keberaniannya melawan arus utama, kedewasaan dalam sikap politik, keteguhan dalam perlawanan, logika gerakan dengan titik pijak yang kokoh, kesederhanaan dan kesabaran dalam berkeluarga..... menunjukan kapasitas wawasan pengetahuan dan sejarah yang memadai dalam diri seorang pejuang... seperti gaya penulisan sejarah bagi para pejuang lainnya, penulis dan editor sepertinya ingin memberi inspirasi bagi para pembaca sehingga mau melakukan refleksi diri di era kekinian yang diombang ambingkan kekuatan eksternal yang membuat generasi mudanya banyak yang kehilangan orientasi, latah membebek dalam konstruksi wacana global dan cengeng.....

Pagi ini kubaca lagi majalah tempo edisi terbaru, tidak ada ulasan panjang lebar tentang seorang tokoh pejuang...... paling tentang bagaimana rebutan RI 1 oleh orang-orang yang berambisi untuk itu... kalaupun ada yang seru, itu soal kebingungan ahli medis di Samarinda karena tidak mampu menjelaskan bagaimana ribuan utas kawat besi bisa tumbuh dan patah silih berganti dari perut dan dada seorang ibu selama 17 tahun. Atau di bagian belakang ”gerai” catatan pinggir Goenawan Mohamad... Selainnya biasa-biasa saja...... Tapi sebentar dulu.... di halaman bagian awal-awal sepintas aku melihat poto tumpukan hijau daun yang cukup aku kenal..... wah .. Selamat buat Galih, setelah mengikuti seleksi akhirnya berhasil merebut gelar jawara Sheel LiveWIRE Business Start-Up Award 2008 dengan bendera Naturalife Greenworld-nya... Selamat Ya kutulis SMS karena lewat telpon suara putus-putus, ”saya lagi di Boyolali mas.... nanti bulan Agustus saya ke Bogor” ucapnya.

Ghonjess

22 Juli 2008

Konsep Kekuasaan Mengalami Pergeseran

Pendekatan Lama

Usaha untuk memahami fenomena sosial agar dapat pemahaman sedekat mungkin dengan realita membuat antropologi mengalami pergeseran – pergeseran secara mendasar. Prinsip emik sebagai konsekwensi logis dari kesadaran tersebut membawa implikasi – implikasi baik secara teoritis maupun secara metodologis. Sejarah pengetahuan antropologi tidak bisa diabaikan begitu saja. Cara pandang (paradigma) lama masih membayang-bayangi cara berfikir ’ilmiah’ yang memberikan tantangan yang tidak sederhana.

Evolusionisme menjadi bahan pemikiran secara meluas dengan terbitnya The Origin of Species pada tahun 1859 oleh Charles Darwin. Meskipun Darwin bukanlah orang yang pertama yang memandang penciptaan species-species baru secara evolusioner, tetapi dia adalah yang pertama memberikan eksplanasi secara mendalam mengenai bagaimana evolusi itu terjadi. Selanjutnya evolusionisme memberikan landasan bagi terbentuknya berbagai paradigma dalam antropologi.

Evolusi kemudian menjadi bahan pemikiran para ahli biologi karena dalam ‘seleksi alam’nya Darwin memberikan banyak informasi mengenai isu biologi yang membuka pintu pengetahuan baru dalam disiplin ilmu tersebut. Pemikiran-pemikiran tersebut terus berkembang dan bercabang-cabang. Beberapa ahli biologi yang juga mempelajari bidang sosial sering menganalogikan evolusi sosial seperti pada evolusi biologi. Sebagai salah satu contohnya adalah Herbert Spencer seorang ahli biologi yang menganalogikan Kekerabatan dan organisasi sosial dengan reproduksi; Ekonomi lokal dianalogikan dengan sistem pencernakan; Religi dengan sirkulasi darah; Politik lokal dianalokan dengan sistem syaraf. Analogi sistem organik biologi kepada gagasan sistem sosial ini kemudian sangat berpengaruh dalam pembentukan paradigma antropologi. Analogi tersebut banyak mempengaruhi pemikiran para antropolog, diantaranya Alfred R. Radcliffe-Brown salah satu tokoh antropologi penting dari Inggris yang mengembangkan paradigma struktural fungsional dalam penelitian sosial, yang memiliki ciri sangat sistemik, hal ini analog dengan sistem-sistem organik dalam ilmu biologi (positivisme).

Paradigma positivisme pada studi-studi kualitatif bagaimanapun juga tidak terlepas dari sejarah ilmu antropologi itu sendiri. Pada studi kualitatif positivisme, seorang peneliti berperan sangat dominan dalam hubungannya dengan yang diteliti. Prosedur ilmiah yang digunakan diadopsi dari ilmu-ilmu alam yang sasaran penelitiannya bukan manusia. Teori digunakan untuk membangun hipotesa yang kemudian dibuktikan dengan penelitian lapangan. Pertanyaan mengapa menjadi dasar penelitian yang harus dijawab dengan eksplanasi. Pada penelitian seperti ini manusia yang menjadi sasaran penelitian seolah-olah menjadi objek yang tidak memiliki pikiran sebagaimana dalam penelitian ilmu alam.

Pergeseran cara pandang

Dengan kesadaran bahwa manusia mampu melakukan konstruksi sosial dan mampu melakukan manipulasi, cara-cara studi kualitatif positivism mulai di tinggalkan. Kesadaran tersebut memicu terjadi perubahan dalam studi-studi antropologi masa kini. Cara padang konstruktivism mulai digunakan dalam penelitian kualitatif. Peneliti tidak lagi mendominasi dalam proses penelitian tersebut. Manusia sebagai sasaran penelitian lebih diperlakukan sebagai subjek yang berinteraksi dengan peneliti. Pertanyaan bagaimana menggantikan pertanyaan mengapa sebagai konsekwensi bahwa yang diteliti adalah subjek sehingga hasil penelitian lebih berupa deskripsi.

Dari paparan diatas perubahan paradigma dari positivism ke konstruktivism dalam studi kualitatif telah menjauhkan peneliti dari teori yang digunakan. Teori hanya digunakan sebagai rambu dalam membangun hipotesa, dimana hipotesa tersebut terus dibangun selama dalam proses penelitian. Hubungan peneliti dengan teori sangat dinamis, karena peneliti melakukan sensitizing dalam penelitian ini, dimana sangat ditentukan dengan apa yang terjadi di lapangan. Konsekwensi dari metode ini adalah peneliti tidak bisa membangun teori pada level grand theory, tetapi lebih kepada middle range theory yang lebih dekat kepada fenomena atau realita yang diteliti.

Perubahan paradigmatik ini membawa antropologi ke ranah yang berbeda dalam melihat fenomena sosial. Keinginan untuk mereduksi kekuasaan peneliti dalam suatu proses penelitian, membuat terjadinya pergeseran tersebut. Kesadaran moral tentang keadilan bahwa mereka yang di teliti juga manusia, membawa isu yang sebelumnya memposisikan masyarakat sebagai obyek, sudah tidak lagi demikian. Peneliti dulu kok seperti memiliki kekuasaan tunggal atas pendefinisian terhadap realita- sosial yang ada. Hitam putihnya fenomena sosial berada pada peneliti. Hal ini sebenarnya banyak dipengaruhi pendekatan antroplogi lama.

Fenomena sosial kekinian

Deterritorialized’ yang diutarakan Arjun Appadurai menggambarkan bagaimana dunia dalam konteks kekinian sudah mengalami pergeseran. Kemajuan teknologi informasi, perfilman, hiburan , pariwisata telah membentuk masyarakat menjadi kompleks. Pada era kosmopolitan yang memiliki karakteristik yang kompleks dimana budaya transnasional sudah mempengaruhi cara pandang banyak orang, sudah sulit untuk mempertahankan pendekatan-pendekatan lama. Dimana masyarakat digambarkan masih sederhana tidak sekompleks saat ini.

Dalam kondisi fenomena sosial seperti ini etnografi sebagai salah satu pilar dalam ilmu antropologi menghadapi realita yang sudah berbeda dengan masa sebelumnya. Pengertian holistik yang semula merupakan pendekatan yang melihat masyarakat tertentu secara menyeluruh menjadi tidak relevan untuk digunakan lagi. Disini holistik dalam etnografi mengalami pergeseran sejalan dengan kompleksitas tersebut. Fungsi-fungsi dan keterkaitan-keterkaitan unsur masyarakat tidak lagi dalam satu lokasi, akan tetapi menjadi dibeberapa lokasi (multi situs).

Batasan-batasan budaya sudah mulai kabur, jalin-menjalin yang terjadi sudah tidak dalam dimensi teritori tertentu ‘deterritorialized’. Studi etnografi yang dilakukanpun mengikuti perkembangan yang terjadi. Demikian juga terminologi holistik yang digunakan, tidak lagi melihat keterkaitan antar unsur penyusun dalam satu lokasi tertentu, tapi lebih kepada dimensi multi-situs.

Pendekatan kekinian

Perubahan dalam cara melihat fenomena sosial kekinian seperti diatas bersama dengan adanya sifat kritik terhadap diri sendiri dalam kajian antropologi menuntut kesadaran kepada diri peneliti baik dari sisi akademik juga dari sisi moral. Hal ini menggeser bahasan antropologi masa kini dari isu :

status dan peran --- relasi dan oposisi

sistemik-objektif --- agent–subject

peneliti dominan --- reduksi dominasi peneliti

teori pra konsepsi --- konstruksi teori

positivisme --- emik–empirik

strutural fungsional --- interpretive–konstruktif

integrasi–struktur sosial --- konflik–resistensi

kekuasaan sebagai kata awal --- kekuasaan sebagai kata akhir

dari paparan diatas menunjukan bahwa kemudian yang harus terekam dalam etnografi adalah perubahan, kompleksitas, representasi, identitas serta relasi-relasi sosial yang ada pada fenomena sosial yang diteliti. Pergeseran dari sifat objektif ke subjektif maupun penggunaan prinsip emik dalam penelitian antropologi bukan relasi kausalitas dari keduanya, akan tetapi keduanya adalah konsekwensi secara teoritis dan metodologis atas perubahan cara pandang dalam antropologi, dan perubahan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat.

Ghonjess