see the world

see the world

28 Februari 2009

Untuk Kepentingaan Siapa?

Kekuasaan sebagai bentuk dari ketidakadilan sering kali menjadi tema yang hadir sebagai pokok bahasan dalam pembicaraan atau diskusi – diskusi yang sering dilakukan di berbagai tempat, diinterpretasikan menjadi berbagai wujud tergantung siapa yang melakukan interpretasi, dari cara pandang mana dilihat, dan sejauh mana pemahaman akan konsep kekuasaan tersebut dimiliki. Kajian – kajian yang berkaitan dengan masyarakat Indonesia sangat kental dengan pembahasan tentang relasi kuasa antara orang – orang atau kelompok – kelompok yang berkontestasi untuk kepentingan - kepentingan ekonomi politik tertentu. Namun untuk dapat menjelaskan bagaimana proses kekuasaan itu bekerja, bagaimana prosesnya berlangsung pada tataran empirik bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Tania Murray Li melalui ”The Will to Improve” dengan cerdas memberikan gambaran bagaimana proses-proses tersebut berlangsung di Indonesia.

Memilih Sulawesi Tengah sebagai wilayah studi, dengan govermentality sebagai konsep utama, Tania Murray Li menggambarkan bagaimana konflik dan proses kontestasi kekuasaan bekerja melalui jargon development yang semua berdalih dengan tujuan demi perbaikan masyarakat. Berbagai upaya dan strategi dilakukan dengan intervensi melalui implementasi rencana dan program yang terus dimodifikasi terhadap masyarakat di pegunungan, hal ini memberi dampak terjadinya perubahan pola pikir dan pola hidup masyarakat tersebut.

Dalam buku tersebut konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault terasa lebih nyata tergambar dari awal hingga akhir. Dengan didukung oleh data - data sejarah, argumen yang dibangun menjadi kokoh dan semakin memperjelas bagaimana proses kontestasi dan relasi kekuasaan bertransformasi dari masa ke masa diwilayah tersebut. Data sejarah tersebut mulai dari jaman VOC, pada era kolonial, serta pada saat misionaris mulai bekerja di dalam masyarakat, hingga pada era setelah kemerdekaan dimana developmentalism bekerja melalui pemerintah, NGO, dan lembaga dana.

Pada era sebelum kemerdekaan atau era kolonial digambarkan bagaimana para misionaris kristen, para ilmuan dan mereka yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda melakukan upaya intervensi dan implementasi program yang berupaya memindahkan masyarakat di perbukitan untuk ditempatkan di lembah dengan berbagai justifikasi dan legitimasi tertentu. Mereka yang memiliki pola hidup dekat dengan hutan di pindahkan menjadi petani dengan sisitem pertanian intensif guna mendukung kepentingan ekonomi politik kolonial dan para misionaris.

Pada era setelah kemerdekaan proses-proses tersebut dilanjutkan oleh pemerintah, NGO, para ilmuan, dan lembaga dana melalui projek konservasi dan pembangunan yang sebenarnya merupakan transformasi dari praktek praktek sebelumnya sebagai bentuk yang berkesinambungan. Dengan konsep govermentality, dominasi kekuasaan masih terlihat sama saja dari masa sebelum maupun sesudah kemerdekaan di mana upaya-upaya yang dilakukan memiliki pola yang sama yaitu untuk menjaga eksistensi kekuasaan.

Melalui studi yang dilakukan, Tania Murray Li memberikan kontribusi bagi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana neoliberalisme bekerja dan dapat terus berlangsung melalui goverment dengan berbagai praktek intervensi program pembangunan yang dilakukan. Pada akhirnya baik dari masa sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan upaya-upaya yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih dominan, hanya berupa projek dan program yang dirancang memang untuk tidak akan pernah selesai sehingga projek tersebut bisa terus berlanjut guna mendukung eksistensi kekuasaan mereka.

Melalui nilai keadilan sosial Tania Murrai Li berpendapat bahwa rencana dan program yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat pada akhirnya akan membuat masyarakat menjadi korban dari kepentingan kepentingan tersebut. Dalam hal ini etnografi memiliki peran penting karena mampu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang sebenarnya menjadi keinginan masyarakat yang sering dijadikan target pembangunan.

Ghonjess

24 Februari 2009

Simbol dan Interpretasi

Interpretasi dibutuhkan untuk memahami makna dari hal-hal yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, karena sepanjang kegiatan manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat simbolik seperti yang ada dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, kegiatan, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan dan lain lain, yang sering merupakan perwujudan dari sesuatu yang tidak tampak. Dengan demikian dibutuhkan upaya interpretasi terhadap simbol-simbol tersebut guna memperoleh pemahaman atas fenomena sosial yang ada. Dengan kata lain proses interpretasi menjadi suatu proses yang harus dilakukan dalam memperoleh suatu pemahaman melalui simbol sebagai media yang memiliki makna bagi pemahaman para peneliti.

Victor Turner merupakan salah satu peneliti yang melakukan kajian terhadap simbol dalam ritual (upacara keagamaan) pada masyarakat Ndembu di Afrika. Dengan mengkaji simbol-simbol yang ada pada ritual tersebut ia berusaha melihat bagaimana relasi sosial dan struktur sosial yang ada pada masyarakat Ndembu. Melalui kajian simbol-simbol yang ada dalam ritual dapat dipahami bagaimana cara masyarakat Ndembu mempertahankan struktur sosialnya, salah satunya dengan melakukan ritual pada proses inisiasi dimana mereka diberi pemahaman mengenai peranan mereka dalam struktur sosial yang ada. Kajian atas simbol juga dilakukan oleh James L. Peacock yang terwujud dalam pertunjukan Ludruk di kota Surabaya, dimana pertunjukan Ludruk dianalisis sebagai tindakan-tindakan simbolik yang menghadirkan klasifikasi-klasifikasi simbolik dan konsep-konsep tindakan sosial. Melalui penelitian tersebut dapat dipahami bagaimana tindakan-tindakan simbolik dari pertunjukan Ludruk tersebut mendorong proses moderenisasi yang terjadi pada masyarakat Jawa.

Clifford Geertz melakukan kajian mengenai agama, mitos dan upacara sebagai jalan untuk memahami bagaimana manusia memahami dan menerima hakekat dari kehidupan sosial di masyarakatnya, dimana simbol menjadi kendaraan yang mengantarkan kepada pemahaman kita (the vehicle of meaning). Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model of dan model for dari sistem konsep yang ideal dengan yang aktual. Disini Ia memandang fenomena sosial sebagai suatu teks, dalam hal ini Geertz menggunakan konsep ’analogi teks’ sebagai prosedur dalam melakukan interpretasi kebudayaan seperti bagaimana interpretasi teks yang dilakukan di dalam hermeneutik.

Dari uraian diatas dapat dilihat bagaimana simbol menjadi media yang membawa para peneliti kepada pemahaman atas fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat. Dimana proses dari fenomena sosial menjadi simbol terjadi melalui analogi-analogi atau konotasi-konotasi tertentu berdasarkan kemiripan atau kesamaan, sehingga simbol menjadi konsep-konsep yang memiliki makna ganda yang terkandung di dalamnya sehingga diperlukan interpretasi atas simbol-simbol tersebut. Dalam hal ini hermeneutik menjadi relevan bagi dasar atas kajian-kajian yang dilakukan terhadap fenomena sosial yang ada didalam masyarakat. Dikatakan demikian karena hermeneutik memberikan model pemahaman dan cara pemaknaan yang mendalam serta dapat memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.

Ghonjess

05 Februari 2009

Curhat Libur Imlek

Libur imlek kemarin niat jalan-jalan ama temen2 ke pantai Bayah di Banten selatan. Males lewat jalan poros Bogor-Sukabumi yg biasanya macet karena truk perusahaan air kemasan, merayap pelan di tanjakan dengan muatan yang over load atau bahkan berhenti karena patah as rodanya, ya udah… tak coba jalur alternatif yg lebih santai.... lewat jalur Leuwiliang- Cianten-Cipeuteuy-Cikidang-PL.Ratu-Bayah.

udah kebayang kesejukan, kehangatan, keindahan suasana desa, kebun, gunung, pantai yg bakal dilewati di sepanjang jalan… dari desa Karacak, Karyasari, persawahan di Puraseda trus naik sampai kebun teh Cianten, nyebrang lewat hutan di celah antara gn.Salak dan gn.Halimun di Cipeuteuy. Turun lewat kebun kelapa sawit milik ptp yg belum siap panen di sekitar jalur Cikidang, nyusur pantai dari Pelabuhan Ratu-Cisolok. Lanjut nyebrang dataran tinggi setelah Cibangban lalu turun lagi hingga ke pantai Bayah di Banten Selatan. jalur yang asik untuk dilalui... tapiii..

Busyeeet deh…. sepanjang jalan dipenuhi layar lebar penuh wajah para caleg beserta warna mencolok mata dari berbagai parpol. Saling berebutan space ditempat strategis terutama di simpang jalan. Jangankan di jalan-jalan propinsi.... sampai ke jalan-jalan kampung hingga ke pinggir hutan, dari atas gunung sampai turun kepantai… di pohon-pohon, pos ronda, jembatan, pangkalan ojeg, kaca belakang angkot, serasa tak ada lagi ruang yg tak diisi oleh gambar wajah dan parpol… dari yang kecil hingga yang berukuran layar tancep… caleg guendeng… kita jadi seperti jalan di koridor mall… dijejali warna mencolok iklan-iklan besar disetiap sudut pandang… dipaksa mengkonsumsi kehampaan…. huuuh…

Ghonjess

Arrivederci... auf Wiedersehen...

Pada awalnya ada penolakan meskipun dengan cara yang halus tapi tetap masih bisa dirasakan.... wajarlah.... selalu akan ada riak dalam setiap keberadaan... sesuatu yang tak bisa dihindari dan harus dihadapi.... meskipun sadar ini bukan persoalan sederhana.... untuk masuk kedunia masa laluku yang telah menjadi masa kininya mereka.... para anak muda...

Dua tahun lebih bukan waktu yang sebentar.... hanya panggilan jiwa yang bisa membuat bertahan segitu lama... yang mampu menelan cibiran sinis menjadi keyakinan dan ketulusan.... untuk menghadapi berbagai gejolak yang dapat memembuat bimbang... akhirnya semua dapat dilewati... setelah sekian lama akhirnya telah... kusampaikan semua apa yang harusnya kusampaikan.... sekarang saatnya aku harus pergi... Seize the day.... “Carpe Diem”...

Ghonjess