see the world

see the world

14 Mei 2009

Bangsa Setan-Setan

Lebih dari dua abad silam terbit sebuah tulisan pendek yang berpengaruh besar dalam pemikiran politik sampai dewasa ini. Tulisan itu berjudul Zum ewigen Frieden (1795): Menuju Perdamaian Abadi. Penulisnya adalah Immanuel Kant (1724-1804), filsuf Aufklärung Jerman, penduduk Koenigsberg—sekarang Kaliningrad—dari lahir sampai kematiannya.


Berbeda dari kebanyakan teks filsafat lain, tulisan Kant ini berbentuk ”perjanjian perdamaian” seperti yang dapat kita jumpai pada teks-teks hubungan internasional pada zaman itu. Ada pembukaan, pasal-pasal pendahuluan, pasal-pasal definitif, jaminan perjanjian, pasal rahasia, pasal-pasal tambahan, dan lampiran. Dalam buku kecil itu filsuf yang termasyhur dengan Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Nalar Murni) ini merumuskan filsafatnya tentang hubungan antara politik, alam, dan moral.


Dalam ulasan ini saya ingin memusatkan perhatian pada sebuah tesis yang ditulisnya dalam pasal tambahan buku itu. ”Masalah pendirian negara,”demikian tulis Kant, ”…dapat dipecahkan bahkan oleh suatu bangsa setan-setan (asalkan mereka memiliki akal)”. Apakah maksud kalimat aneh ini? Bayangkanlah the founding fathers sebuah republik sebagai setan-setan jahanam yang serba egois bertekad bersama mendirikan negara. Rakyatnya juga setan-setan. Dan, Kant yakin: negara itu bisa berdiri. Sebuah tesis yang ganjil, bukan? Besar rasa ingin tahu kita mengetahui asas-asas mana yang kiranya akan diambil oleh makhluk-makhluk egois itu.


Di sini saya ingin merumuskan asas-asas itu dan berargumen bahwa asas-asas itu—yang bisa kita sebut ”universalisme keras”—bermanfaat untuk mengatur hubungan sosial politis dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, tetapi asas-asas itu tidak memadai dan harus dilengkapi dengan ”universalisme lunak”.


Politik dan alam

Asas pertama dapat dirumuskan demikian: Susunlah konstitusi negara yang netral dari agama dan moral sehingga tidak menjerumuskan rakyat pada konflik moral ataupun agama, melainkan memperhitungkan bagaimana ”mekanisme alam” mengatur hubungan antarindividu. Setan-setan jelas tak bermoral, tetapi setan-setan Kantian bukan serigala-serigala yang melulu naluriah, melainkan egois-egois yang berpikir rasional-strategis. Frase dalam tanda kurung ”asal mereka memiliki akal” sangat sentral. Jadi, mereka akan menyingkirkan segala nilai moral ataupun religius yang kontroversial agar mereka dapat menjamin kepentingan privat mereka dengan suatu konsensus rasional untuk tidak mengintervensi privasi masing-masing. Jika negara itu berdiri, ia akan melindungi setiap setan individual untuk menjalankan kebebasan privatnya masing-masing. Hukum mereka berlaku untuk semua setan dan diterima oleh segala setan bukan karena ”seharusnya”, melainkan karena ”nyatanya” cocok dengan kepentingan mereka. Hukum itu suatu ”universalisme keras”.


Sekarang marilah beralih sejenak ke sesuatu yang bukan setan: suatu bangsa manusia-manusia yang terdiri atas puluhan etnisitas, memeluk berbagai agama dunia dan puluhan agama suku yang berbeda-beda, memiliki orientasi moral dan politis yang berlain-lainan seperti Islam, Kristen, Sosialis, dan Liberal, yang masing-masing dengan banyak aliran atau sektenya. Tentu manusia berbeda dari setan Kantian itu. Manusia bermoral, beragama, dan berbudaya! Namun, persis inilah yang membuat mereka sulit sekali bersepakat untuk sebuah konstitusi negara yang mengatur masyarakat majemuk itu. Masing-masing kelompok mendakukan kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya. Mereka berpikir bahwa perdamaian dapat dicapai dengan mengkhotbahi para warga negara. Namun, khotbah atau nasihat moral tidak juga mengubah kebandelan mereka. Tegangan pun terjadi di antara mayoritas dan minoritas. Pluralisme dianggap menguntungkan minoritas, maka mayoritas menerapkan doktrin puritan untuk memberangus segala penyimpangan. Konflik agama dan etnis pun meletus di antara mereka.

Perbedaan bangsa manusia dan setan-setan Kantian itu jelas: setan Kantian hanya memiliki rasionalitas strategis, sedangkan manusia selain memiliki rasionalitas strategis, juga memunyai moralitas dan religiositas. Namun, mengapa manusia terus bertengkar dan mengapa setan-setan bisa bersepakat? Karena setan-setan itu lebih pragmatis daripada manusia. Daripada bertengkar berlarut-larut soal agama, kebudayaan dan moralitas, dan mendirikan konstitusi atas dasar nilai-nilai kontroversial itu, adalah lebih menguntungkan survival mereka jika membangun konstitusi negara yang menerapkan ”mekanisme alamiah” ke dalam masyarakat mereka. Jadi, daripada memberi nasihat-nasihat moral atau khotbah-khotbah religius, adalah lebih baik menerapkan suatu sistem hukum dan manajerial pemerintahan yang memaksa mereka menghormati kebebasan orang lain, bukan karena alasan moral atau agama, melainkan karena alasan pragmatis, yakni demi kebebasannya sendiri. Asumsi Kant: struktur-struktur yang ”fair” yang menata hubungan para warga negara akan membantu mereka menghendaki perdamaian sebagai sesuatu yang rasional (strategis).


Politik dan moral

Asas kedua berbunyi begini: Pimpinlah negara tanpa memaksakan kebenaran salah satu agama atau moralitas rakyatmu sebagai alasan kekuasaanmu, melainkan setialah kepada konstitusi kebebasan itu. ”Bangsa setan-setan” memang tak bermoral, tetapi mereka punya alasan rasional untuk patuh pada konstitusi sebagai ”moral” mereka, yakni demi survival. Kita bedakan dua moral di sini: [1] moral partikular yang terkait dengan kelompok sosial dan [2] moral universal yang mendasari konstitusi. Karena kebutuhan survival itu universal, setan tak mengalami dualisme loyalitas. Sebaliknya, bangsa manusia-manusia mengalami dualisme antara setia pada agama atau konstitusi, pada moral partikular atau moral negara sehingga hubungan antara politik dan moral menjadi problematis dalam leadership negara manusia.


Pemimpin manusia bisa menyalahgunakan moral partikular untuk kepentingan kekuasaannya. Pemimpin Machiavellian semacam itu disebut Kant ”moralis politis”. Jika negara mau damai, pemimpin tidak hanya sekadar konsekuen dengan konstitusi kebebasan, melainkan juga terbuka untuk merevisi konstitusi itu agar makin sesuai dengan moral universal. Pemimpin yang berperan sebagai ”kritikus ideologi” ini disebut Kant politikus moral.


Untuk ”bangsa setan-setan” tentu hubungan antara moral dan politik bukanlah masalah karena mereka tak bermoral, dan bagi mereka politik adalah upaya menemukan ”mekanisme alam” dalam masyarakat dengan ”rasionalitas strategis”. Dengan kata lain, politik dimengerti seperti ekonomi pasar yang tunduk pada invisible hands ala Adam Smith. Namun, bangsa manusia-manusia akan cenderung melibatkan moralitas mereka dalam politik. Justru di sini letak bahayanya: sementara setan Kantian bersikap netral terhadap agama dan moral-moral partikular, pemimpin bangsa manusia lebih condong menjadi ”moralis politis” daripada ”politikus moralis”. Agama dan moralitas dipakai sebagai alat politis untuk menciptakan ”antinomi kawan dan lawan” (dalam pengertian C Schmitt). Ia akan memoralisasi dan meng-agama-kan segala aspek kehidupan rakyatnya, tapi dari agama dan moral sebagaimana ia pahami. Konsekuensi logisnya, tak ada moral lain selain politiknya sendiri sebab politik tak lain daripada realisasi ”jalan keselamatan” menurut sudut pandang penguasa. Kediktatoran dalam arti Kantian adalah pemaksaan moral atau agama salah satu kelompok masyarakat atas seluruh masyarakat.


Dalam pandangan Kant, setan-setan yang hanya memiliki akal itu akan lebih mampu menciptakan perdamaian daripada manusia-manusia saleh yang tidak menggunakan akal mereka. Maka itu, berfaedahlah belajar dari setan-setan Kantian itu. Negara tidak berwenang melakukan ”perbaikan moral manusia” karena kebijakan itu akan memecah belah sebuah masyarakat modern yang plural dalam kategori-kategori agama, moral, ataupun kebudayaan. Tugas negara adalah ”menemukan cara bagaimana mekanisme alamiah dapat diterapkan pada manusia sedemikian rupa sehingga antagonisme sikap-sikap keji mereka akan membuat mereka saling memaksa tunduk pada hukum yang memaksa dan dengan jalan itu menghasilkan sebuah keadaan damai untuk memberlakukan hukum”. Hukum itu sendiri harus menjamin kebebasan privat warga negara menganut pandangan moral dan religius yang berbeda-beda, tapi akan memberi sanksi pada mereka yang melanggar hak dan kebebasan privat orang atau kelompok lain.


Kepublikan

Asas ketiga dapat dirumuskan demikian: Periksalah terus kesesuaian konstitusi kebebasan itu dengan aspirasi publik di bawah tatapan mata publik. Dalam egoisme mereka, setan-setan Kantian itu berpikir bahwa jika mereka merugikan kebebasan pihak lain, misalnya dengan diam-diam merencanakan serangan, pihak lain itu akan membalas dengan cara dusta dan rahasia juga. Maka itu, demi kepentingan diri mereka, mereka akan bersikap transparan tentang kepentingan-kepentingan diri mereka. ”Kepublikan” berarti dapat diakses oleh publik. Mereka akan menyatakan kepentingan mereka lewat cara-cara yang terbuka terhadap kontrol publik. Kalau demikian, hukum dan konstitusi itu sendiri mencerminkan nalar publik sedemikian rupa sehingga setiap pasal konstitusi atau hukum mencerminkan aspirasi universal publik. ”Semua tindakan yang berhubungan dengan hak orang-orang lain yang maksimnya tidak sesuai dengan kepublikan,”demikian Kant, ”adalah tidak sah”. Jadi, suatu undang-undang yang mencerminkan kepentingan kelompok atau aliran tertentu dan tidak mencerminkan kepentingan publik tidaklah legitim.


Setan yang memikirkan kepublikan tampaknya akan kehilangan watak sataninya karena memikirkan orang lain. Padahal, ciri setan adalah menyembunyikan diri. Kesan itu keliru. Mereka tetap egois dan, dalam egoisme mereka, mereka memikirkan ciri egois pihak lain untuk melindungi diri mereka sendiri dari ancaman. Iktikad-iktikad mereka tetap jahat dan tak terduga, tapi ”perilaku publik” mereka akan sama ”seolah-olah mereka tidak memiliki sikap-sikap jahat itu”. Jadi, mereka tetap setan, tapi setan yang rasional- strategis! Jelas bahwa metafora ”bangsa setan-setan” ini dipakai oleh Kant untuk menjelaskan hubungan-hubungan sosio-politis bukan dalam kota kecil seperti Koenigsberg, melainkan dalam metropolis modern yang kompleks seperti Paris, New York, Jakarta di abad kita.


Universalisme keras dan lunak

Di sini kita harus membedakan dua macam universalisme. ”Universalisme lunak” tentang nilai-nilai moral dan religius tentu berbeda dari ”universalisme keras” hukum-hukum alam dan kalkulasi rasional-strategis sebagaimana tampak dalam ketiga asas Kantian di atas. Suatu universalisme kita sebut ”lunak” jika konsensus menyangkut nilai-nilai yang melibatkan hermeneutik makna dalam sebuah diskursus praktis moral. Suatu universalisme kita sebut ”keras” jika ia—seperti hukum gravitasi dan kalkulasi ekonomis— self-evidence. Negara yang didirikan atas dasar ”mekanisme alam” mungkin saja akan menyatukan semua individu yang berpikiran strategis dalam ”universalisme keras”, tapi negara macam itu hanyalah sebuah ”sistem” tindakan-tindakan rasional: bertujuan sebagaimana tampak dalam ”pasar” dan ”birokrasi”. Padahal, ”masyarakat” adalah sesuatu yang ”lebih” daripada ”sistem”. Masyarakat adalah suatu Lebenswelt (dunia-kehidupan) yang melibatkan penghayatan nilai-nilai moral, kultural, dan religius. Setan-setan Kantian hanya menghasilkan ”sistem” atau mekanisme obyektif yang mengatur semua individu tanpa pandang bulu. Negara macam itu mungkin memuaskan setan Kantian (yang lebih mirip robot daripada iblis) ini, tapi tak akan memuaskan manusia.


Untuk negara manusia, dibutuhkan juga ”universalisme lunak”. Manusia adalah makhluk moral dan religius, maka ia tak hanya memberi arti teknis-pragmatis pada benda-benda dan tindakannya, melainkan juga arti praktis-moral. The founding fathers dan para legislator hukum masyarakat majemuk harus bisa sepakat tidak hanya mengenai ”sistem” manajemen republik, melainkan juga ”dasar-dasar moral universal kemanusiaan” yang membangun solidaritas universal manusia dari berbagai agama, suku, ras, dan orientasi politis dalam negara itu.

”Universalisme keras” yang diandaikan oleh liberalisme Kant harus dilanjutkan dengan ”universalisme lunak”. Suatu konstitusi negara akan memuaskan manusia sebagai makhluk moral dan religius jika nilai-nilai moral dan agamanya juga diperhitungkan di dalam kehidupan publik. Namun, nilai-nilai itu harus diuji dulu lewat asas kepublikan, yakni apakah nilai-nilai itu, misalnya dari agama atau suku tertentu, dapat diterima oleh pihak-pihak lain secara universal dan tanpa paksaan.


Untuk itu, setiap kelompok dari tradisinya sendiri harus menggali dan menumbuhkan konsep ”hospitalitas” sebagaimana diulas Kant dalam bukunya. Hospitalitas berarti sikap menyambut yang lain dalam keberlainannya, sikap terbuka terhadap pluralisme nilai-nilai. Hospitalitas terkandung dalam setiap tradisi religius dan berkaitan dengan nilai-nilai universal hak-hak asasi manusia. ”Universalisme lunak” tak lain daripada interseksi nilai-nilai agama-agama yang berbeda-beda dalam horizon kemanusiaan dalam keberagamannya. Titik persilangan itu terdapat dalam visi dalam setiap agama yang menyambut pihak-pihak yang berbeda dari dirinya dalam semangat keterbukaan.


Ketiga asas yang kita rumuskan di atas 1. pragmatisme kepentingan alamiah; 2. kepemimpinan yang netral dari pandangan-pandangan religius dan moral; dan 3. kepublikan harus dilengkapi dengan asas ke-4 yang merupakan perluasan dari kepublikan, yaitu: Konstitusi negara harus memungkinkan saling-pemahaman antaragama dan memberi ruang untuk titik-titik temu nilai-nilai agama dan moral yang berbeda-beda karena saling pemahaman akan nilai-nilai universal bersama itu juga merupakan ”aspirasi publik” dalam masyarakat majemuk.

Dengan ”bangsa setan-setan” itu Kant ingin menarik perhatian kita bahwa sebuah konsensus minimal itu mungkin jika para individu dalam masyarakat majemuk berpikir rasional-strategis. Mekanisme bisnis dan pasar dan birokrasi konsisten yang beroperasi efisien memang akan membuat orang lupa akan perbedaan Weltanschauungen di antara mereka, tetapi tidak akan membuat mereka ”saling memahami” secara kultural. Lagi pula, negara terdiri tidak hanya atas pasar dan birokrasi, melainkan juga masyarakat dan kebudayaan. Karena itu, perdamaian di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat majemuk tidak dapat dicapai jika tidak memperhitungkan perdamaian di antara agama-agama mereka. Negara manusia akan damai jika birokrasi, pasar, dan saling pengertian antaragama berada dalam porsi kekuatan yang seimbang.


* Tulisan ini merupakan makalah peluncuran buku Kant Menuju Perdamaian Abadi di Goethe Haus, Jakarta, 27 Agustus 2005. Oleh: Dr F Budi Hardiman ("Bangsa Setan-setan" dan Universalisme Lunak Kant tentang Politik dalam Masyarakat Majemuk) Kepala Pusat Penelitian STF Driyarkara, Koordinator Simposium Kant, 17-18 Desember 2004 di Bentara Budaya Jakarta


01 Mei 2009

Berdua Bersama Anakku

Karena pekerjaan... selama dua minggu istriku harus keluar kota, keluar negeri atau ke Eropa tepatnya. Artinya selama itu aku harus bisa lebih intens bersama anakku. Dengan kata lain tidak membiarkan ia mengalami rasa kesepian tanpa ibunya. Karena memang dalam keseharian biasanya ia selalu bersama ibunya... terutama ketika mau tidur dan pada saat bangun tidur. Ia selalu bilang "aku sayang mama" yang ia ucapkan kurasa hampir setiap hari. Kadang kalimat itu ia ucapkan secara berbisik di telingaku.

Tentu saja... setiap malam menjelang tidur ia selalu minta "diceritain" oleh ibunya. Meskipun ia sudah pernah atau sudah hapal dengan cerita-cerita yang ada dalam bukunya yang tidak sedikit jumlahnya, ia selalu senang jika ibunya bercerita hingga ia tertidur. Begitu pula jika ia kadang terjaga ditengah malam, ibunya sudah siap dengan sebotol susu hangat sambil mengusap-usap punggungnya dengan "sh.. sh.. sh..." penuh sayang hingga ia kembali nyenyak tertidur. Dipagi hari... senyum ibunya yang selalu pertama kali ia lihat ketika membuka mata. wajar ia begitu dekat dengan ibunya... istriku....

Dijumlah hari yang begitu singkat aku sudah mendapat banyak pengalaman berharga. Aku harus bisa menjadi seorang.... ratu, perias, sekaligus ahli busana..... direktur, manajer, sekretaris, akuntan sekaligus office boy.... guru, asisten, pelukis sekaligus pustakawan.... , dokter, perawat, sekaligus apoteker... badut, pelawak, sekaligus pendongeng.... koki, baby sitter, sopir sekaligus bodyguard... full time 24 jam sehari tidak mengenal part time... tidak boleh mengeluh.... semua musti dijalankan dengan tulus dengan rasa cinta dan penuh kasih sayang ... maklum jika ada ungkapang "jika ibu rumah tangga harus digaji secara profesional, mungkin besarnya menyamai besar anggaran belanja sebuah negara".... aah jasa seorang ibu tentu tidak bisa dinilai secara materi...

Apalagi ketika musti harus bisa menjadi seorang filsuf... karena harus mendengar, memahami dan merespon pertanyaan -pertanyaan dasar yang sering dilontarkan secara beruntun... ini apa pa?... pagar; pagar apa pa?... pagar bambu; bambu apa pa?... bambu kuning; kenapa disebut bambu pa?.... Uuups; belum terjawab... kenapa kuning pa?..... wadowww; .... ini kok dibilang pagar?... uuugh. ...papa bingung ya?... memang hanya seorang filsuf yang bisa menjawab pertanyaan seorang anak kecil, seperti anakku yang baru berusia 3 tahun....

Wajar jika tidak ada penyair yang tidak pernah menyanjung seorang ibu... karena seorang ibu memang luar biasa... Karena seorang ibu adalah "garda terdepan barisan pejuang kemanusian"

Ghonjess