see the world

see the world

28 Mei 2010

Petani Pohpohan di Gunung Salak



Pernah makan lalap daun Pohpohan? Di Bogor tentu tidak sulit untuk mendapatkan lalapan jenis ini. Banyak warung nasi yang menyediakan pohpohan sebagai salah satu menu yang dihidangkan di atas meja. Kala lewat tengah malam pernahkah sesekali main ke pasar Bogor? Diantara begitu banyak jenis sayuran yang ada akan terlihat pohpohan yang diikat rapi menjadi ikatan-ikatan kecil. Ada yang dibawa dengan becak atau yang sudah siap beredar diatas gerobak penjual sayur keliling. Atau yang masih berupa ikatan-ikatan besar yang baru tiba dari desa. Biasanya pick-up atau angkot menjadi alat transportasi yang digunakan. Dari mana datangnya?

Coba deh main ke kampung Calobak, salah satu kampung di bagian Utara kaki Gunung Salak. Daerah ini tidak terlalu jauh dari pusat kota Bogor, lewat jalan ke arah Ciapus kemudian kita akan sampai di desa Tamansari. Melalui belokan SMA Tamansari kearah atas kita akan sampai di kampung Calobak. Di kampung ini terdapat kelompok tani Pohpohan yang di ketuai oleh Pak Wardi. Mereka melakukan praktek sistem pertanian organik. Pupuk kandang menjadi pilihan para petani sebagai sumber unsur hara bagi tanaman pohpohan yang mereka tanam. Jika kita masuk ke areal garapan mereka akan terasa teduh. Tidak seperti lahan pertanian yang pada umumnya terbuka bermandikan sinar matahari. Karena tanaman herba yang biasa dijadikan lalapan ini gampang hidup jika tidak terkena sinar matahari secara langsung, ternaungi oleh pohon-pohon yang tinggi.

Disini pada awalnya Pohpohan tumbuh liar di hutan dan di sekitar kebun pekarangan rumah penduduk. Baru pada tahun 1991 mereka mulai mencoba memeliharanya secara tumpang sari di kaki gunung di atas kampung mereka. Dengan adanya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dikembangkan oleh Perum Perhutani Unit III, mereka kemudian membentuk kelompok Tani Hutan (KTH) Mekarsari. Kelompok tani tersebut mengelola lahan di bawah tegakan damar (Agathis damara), pinus (Pinus merkusii) dan afrika (Meiopsis manii) di kawasan yang waktu itu masuk dalam wilayah kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor. “kami bersama warga kampung naik keatas, mengadakan upacara adat di pinggir sungai Ciapus” ucap pak Wardi menceritakan awal pembentukan kelompok.

Setiap habis panen, mereka menjual hasil panen kepada para tengkulak yang ada di kampung. Kepada mereka para petani percaya untuk dapat menampung (membeli) ikatan demi ikatan pohpohan yang mereka pikul. Menurut para petani, dahulu sempat ada koperasi yang coba menampung pohpohan dari para petani di sini. Tetapi koperasi tersebut tidak bertahan lama karena tidak mampu menjual hasil panen mereka. ”mereka kewalahan untuk memasarkan” ucap seorang petani. Oleh karena itu koperasi ini hanya mampu bertahan beberapa bulan. Untuk itu peran dalam hal pemasaran mereka percayakan kepada para tengkulak. Mereka menampung dan menjual hasil panen para petani melalui relasi mereka yang ada di pasar. Ada sekitar 10 tengkulak yang sering menampung dan sebagian besar adalah warga kampung sendiri. Setiap tengkulak biasanya mampu menampung hasil panen dari 5-10 orang petani. Meskipun demikian tidak ada ikatan khusus antara petani dengan tengkulak. Mereka bebas menjual kemana saja hasil panen mereka. Kadang seorang petani menjual hasil panennya ke-lebih dari satu orang tengkulak. Namun biasanya mereka sudah punya langganan tetap yang sudah mereka percaya.

Pohpohan telah menjadi bagian dari kehidupan warga kampung Calobak dan sekitarnya. Menjadi komoditi yang diandalkan oleh warga kampung untuk menjadi sumber penghidupan dijaman yang kian susah. Ada sekitar 80-an keluarga yang hidup kesehariannya mengharapkan hasil dari bertani pohpohan. Maka ketika tahun 2003 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang merubah fungsi kawasan tersebut dari fungsi produksi menjadi fungsi konservasi, sempat membuat mereka merasa resah. Tentu saja... mereka yang telah menjadi bagian dari program PHBM-nya pemerintah tersebut dihadapkan pada situasi transisi... tanpa kepastian. Hak akses mereka ke lahan garapan terancam. ”asal gak nebang pohon, gak pa pa kok pak” kata pak Wardi si bapak ketua kelompok tani
.
Mudah-mudahan mereka terus dapat melanjutkan aktifitas mereka sebagai petani. penetapan zona khusus oleh taman nasional bisa menjadi ruang bagi mereka. Apalagi peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/2006 tentang Zonasi Taman Nasional memungkinkan mengakomodir keterlanjuran kebijakan pemerintah akibat alih fungsi hutan produksi/lindung. Sehingga hak akses berupa pinjam pakai kawasan termasuk PHBM yang dulu diberikan masih dapat dilanjutkan. Huuh.. jangan terjebak dalam kekakuan wacana hukum positif yang merupakan produk politik. Bagaimanapun juga petani pohpohan adalah warga negara yang sah sehingga memiliki hak dasar agar tetap dapat mengakses sumber penghidupan mereka.

25 Mei 2010

Peuseujuk sebagai Simbol


Sepanjang kegiatan manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang sering-kali merupakan perwujudan lain dari apa yang ingin diwujudkan, begitu kata Dilthey. Dunia manusia memang dunia simbol yang sarat dengan makna.

Di tambak... jalinan janur yang dianyam sedemikian rupa digantung di pintu air. Dalam anyaman tersebut terdapat bungkusan kain putih dan botol kecil berisi minyak wangi. ”itu namanya peuseujuk” ucap salah satu pemilik tambak. Ini dilakukan setiap menjelang panen, ayam hitam dan ayam putih dipotong di pintu air. Tulang dan bagian-bagian tertentu kemudian dibungkus dan diletakan dalam anyaman tersebut bersama benda-benda lain yang memiliki makna tertentu. Acara dilakukan beramai-ramai dimana do’a dan makan bersama dilakukan sebagai bagian dari prosesi. Apapun... itu adalah fenomena sosial dimana simbol-simbol tertentu digunakan dengan makna tertentu pula.

Simbol ada dimana-mana, sering juga digunakan sebagai alat komunikasi manusia. Diwujudkan melalui lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang dan banyak lagi lainnya, dimana bahasa menjadi bentuk primer dari simbolisasi tersebut. Realitas sosial melalui simbol kadang terlihat samar namun sering juga telihat dalam bentuk yang lebih nyata. Pada kasus tersebut simbol warna hitam dan putih sering digunakan untuk menyatakan adanya persepsi oposisi biner...hitam-putih...jahat-baik....benar-salah.... yang sering digunakan untuk mempermudah pemahaman akan pesan moral yang ingin disampaikan, baik melalui cerita, legenda, juga dalam ritual tertentu.

Durkheim memandang makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat. Hal tersebut mengilhami pandangan bahwa ritual dapat dilihat sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) pada masyarakat Ndembu di Afrika. Menurutnya simbol-simbol dalam bentuk ritual berfungsi sebagai jembatan penghantar satuan-satuan kenyataan yang berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini didasari oleh pemikiran adanya sifat universal dari motif-motif dan dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia. jadi maksudnya meskipun tiap individu.. tiap orang . itu unik.. khas... tetap aja ada sifat yang sama... yang bersifat universal...

Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian sebagai media untuk mengurangi permusuhan diantara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan, menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat, sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang ada dan sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh setiap individu dengan demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara. Jadi Turner melihat ritual sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial. Mungkin begitu juga dengan peuseujuk yang dilakukan di pintu air tambak... hanya menjadi menarik karena tambak tersebut berada di Atjeh... mengingat fenomena seperti itu sudah ada dari sejak masa pra-Islam... apakah peusejuk merupakan sinkritisme, hasil dari sinkritisasi sebagai bagian dari proses akulturasi yang terjadi di Atjeh?..



Ghonjess



ref: Turner, Victor. 1974. The Forest of Symbols. Ithaca: Cornell University Press.

20 Mei 2010

Naseb Bungong Seulanga

Secara sepintas tidak ada yang istimewa dengan tempat ini. Petak-petak air yang luas dibelah oleh sungai kecil dengan pohon bakau dan nipah di tepiannya. Ketika air pasang air menjadi lebih dalam dan begitu juga sebaliknya ketika surut sungai menjadi lebih dangkal sepinggang orang dewasa. Hanya sekitar 2 km dari pantai membuat pasang surut sangat mempengaruhi debit air sungai ini. Menjelang siang hari ketika air dangkal terlihat banyak aktifitas dari orang-orang sekitar yang membuat suasana riuh penuh canda dan tawa. Dengan berbekal karung dan golok para perempuan terlihat memungut tiram (setidaknya begitulah mereka menyebutnya) di sungai. Sesekali mereka menyelam ke dasar sungai yang tidak terlalu dalam. Menjelang sore ketika air kian pasang mereka pulang berjalan beriring dengan "menyunggi" karung berisi tiram dengan menggunakan kain sarung yang diikat sedemikian rupa di kepala sebagai alas. Sementara terlihat beberapa laki-laki sedang menjala ikan di bagian tengah sungai dan terus bergerak kearah hilir. Meskipun sungai tersebut kecil dan tidak terlalu dalam namun dapat dilalui perahu bermotor berkapasitas kecil yang sesekali menghempaskan ombak ke tepian tanggul sungai...Huhh... rupanya tidak sesederhana kelihatannya.


dulu dikegelapan malam dari sungai ini sering mendarat perahu-perahu kecil dengan karung-karung yang berisi berbagai jenis senjata” ucap seorang lelaki separuh baya yang sudah lama tinggal di salah satu pondok. “ada jalur internasional melalui Kamboja, India, Afghanistan, Thailand, Philipina dan Malaysia yang diseberangkan ke daerah Peureulak dan Jambo Aye” ucapnya dengan penuh spekulasi tentang perdagangan senjata illegal. Mengingatkanku akan Victor Bout, man who makes war possible, yang tertangkap di Thailand dimana kisahnya difilmkan dalam Lord of War yang dibintangi Nicolas Cage, ditulis jadi buku Merchant of Death –nya Douglas Farah dan Stephen Braun. Kok nyambung dengan dengan cerita antusias si abang tentang kontak senjata yang sering terjadi di tempat tersebut. ... tentu saja... pada situasi konflik senjata, tempat ini menjadi penting untuk diperebutkan melalui pertempuran sengit jika memang benar apa yang dia ceritakan tadi. Pengepungan, mayat di pondok, di lumpur, diantara pohon nipah, tempat si anu tertembak kepalanya, tempat si itu tertangkap, tempat dia meloloskan diri, AK-47, M16, SS-1, GLM, FN, roket, granat, mortir, penculikan, sweeping, bakar, siksa dsb.. dsb... damn.. aku berharap dia bohong... celakanya aku pernah membaca banyak berita tentang kontak senjata yang terjadi di Pidie... di tempat ini ketika masa konflik... bener juga Romo Mangun.... logika perang modern memang tidak mengenal perasaan dan alasan-alasan budaya.... tidak seperti jaman dahulu kala... ketika perang masih bersifat seni perang.


Tiang-tiang kayu dengan tinggi sekitar 1 meter terlihat masih kokoh menopang pondok berbentuk panggung berukuran sekitar 3x4 meter. Berdiri di pinggir pepohonan bakau menghadap ke arah hamparan air membuatnya terlihat bersahaja sebagai bangunan yang lebih tinggi. Apalagi ketika matahari sore memantul dari permukaan air berwarna merah keemasan memberi efek silhouette yang mempertegas bentuk orang yang lagi sholat magrib di bagian teras. Pondok tersebut bagian depan memang sengaja dibuat terbuka dengan dinding rendah sehingga membentuk teras disetengah bagian depannya, menjadi shelter yang nyaman di tempat yang begitu panas dan bisa memandang ke berbagai arah. Keberadaan sumber air tawar berupa pancuran air yang terus mengalir dari sumur bor bak oase ditempat yang dikelilingi luapan air asin. . ”Disini mas tempat mereka sering tidur, kadang cuma beberapa orang, tetapi kadang hingga 40-an orang dengan senjata lengkap” ucapnya sambil menunjuk pondok... ditempatnya sedang duduk. “seragamnya sama, cuma bendera diseragam yang membedakan” timpalnya lagi.


Nuansa keharmonisan yang tertangkap indah oleh mata saat pergantian dari siang ke malam seolah ingin menutupi kisah-kisah mencekam tentang keberadaan pondok tersebut pada saat konflik. Sulit untuk membayangkan bahwa tempat ini menjadi salah satu zona perebutan dimana pelor dihamburkan dari moncong senapan yang sebagian darinya menembus kulit dan daging merenggut nyawa siapa saja pemilik tubuh. “sejujurnya saya sudah malas cerita tentang masa konflik” ucap seorang guru. Meskipun dia terus bercerita hingga larut malam kalau tidak mau disebut curhat. ”waktu itu kami terjepit dan serba salah” ucapnya. Kadang karena memberi sebatang rokok badan bisa tersiksa hingga nyawa melayang. Ya begitulah, kaum bersenjata dari pihak manapun selalu membawa situasi yang memilukan bagi masyarakat bawah.


Sejarah konflik begitu mewarnai kawasan ini, kisah pertempuran, ketakutan, kecemasan, heroik, serba salah, terjepit dalam situasi yang tidak menguntungkan sudah terjadi dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Mereka selalu dalam posisi caught in between dalam sejarah panjang pertempuran dan pergolakan dimana kedamaian menjadi damba. Seperti masa 30 tahun (1606-1636) pada era Sultan Iskandar Muda ketika Kerajaan Aceh Darussalam setenar dengan kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Agra dan Persia.


Wahe bungong ceudah hana ban
Tamse nyak dara nyang canden rupa
Diteuka bana dijak peuayang
uroe ngon malam bungong didoda

.......

Keubit that sayang naseb Seulanga...


Setelah tsunami dan perjanjian Helsinki akankah masyarakat Aceh mendapat kesempatan bernafas lebih panjang untuk bangkit dan berkembang terbebas dari rasa cemas. Hingga dapat menikmati asa dan harapan. Mengingat berita akhir-akhir ini tentang kekerasan dan senjata yang kembali hadir di kawasan ini.


Ghonjess


photo by Ghonjess

Lirik dari : http://tobei.blog.friendster.com/2007/03/lirik-seulanga-rafli/