see the world

see the world

10 Agustus 2010

Menanam Dengan Cara Bersahaja


Sampeyan sampai dimana?” kata seseorang diujung telepon. “sebelum jembatan belok kekanan ” terdengar lagi suara dengan aksen Madura yang kental. Ia arahkan agar bisa sampai ke rumahnya di desa Peleyan, Panarukan, Jawa Timur. Tak lama berselang setelah tiba.. “Siapa pak?” tanya-ku ulang untuk meyakinkan setelah mendengar namanya.. “Pak Gina” ucapnya ketika berjabat tangan sambil mengucapkan kata ‘pak’ dan ‘Gina’ tanpa jeda. Di bagian kiri halaman tampak kantung-kantung polybag berisi bibit mangrove dan cemara udang . Istri beliau sedari tadi tampak memperhatikan kami yang ada di depan. Ia menampakan diri sembari memegang tiang pintu rumah. Dengan hanya sebagian badan yang terlihat. Rumahnya biasa saja sebagaimana umumnya rumah di desa Jawa. Hanya terasa ada nuansa keindahan dari kesederhanaan yang ada.

Letaknya tidak jauh, hanya beberapa menit setelah meninggalkan batas desa. Tidak seperti yang terbayang sebelumnya. Ternyata pohon mangrove-nya sudah setinggi belasan meter.. jumlahnya ribuan.. batang bertekstur kasar sebesar betis hingga paha orang dewasa.. ranting dan cabang saling menyilang ke kiri dan kanan.. rindang dan rimbun oleh daun lebat membentuk kanopi menghalangi sinar matahari.. buah panjang runcing bergelantungan di ujung ranting.. siap menghujam tanah berlumpur dibawahnya... menanti saatnya tiba untuk menjadi bibit baru. Tambah asri dengan riuh suara kicau burung yang bersahutan sore itu.

Dulu air ombak sampai ke pinggir desa kenangnya. Warga kerja bakti membuat guludan menahan pinggir pantai untuk ditanami. Membentuk tanggul hidup untuk menahan abrasi yang kian mengancam daratan tempat tinggal bersama. “airnya banter mas, harus ditahan” begitu alasan atas apa yang dilakukan. Ternyata tidak cuma sampai disitu. Hingga kini beliau terus menanam hingga keluar kecamatan. Coba mengabaikan pendapat orang lain yang tidak percaya atas pengabdian yang dilakukan. “saya dikira ada yang mbayar” keluhnya. Maklumlah ia hanya bekerja sebagai ’waker’ penjaga keamanan tambak intensif yang ada di samping desa. “sekarang pantai jadi agak jauh” ungkapnya puas atas hasil kerja keras selama ini. Apa yang telah dilakukan menjadi contoh bagi desa tetangga bahkan hingga ke kecamatan lain. Ia terus menanami setiap lahan tidur yang ada di pinggir pantai. “saya dapat tiga petak untuk ditanami, sudah dapat ijin dari yang punya” ucapnya penuh semangat setelah memperoleh lahan baru buat ditanami. Di petak tambak udang yang sudah tidak produktif lagi akibat terserang virus white spot. Tentu saja gembira mendapat lokasi untuk ditanami. Karena saat ini tempat telah menjadi komoditi.

Lelah menyusuri luasnya lahan yang sudah menjadi hutan mangrove. “Umurnya sudah 20 tahun lebih mas” ucapnya sambil berjalan cepat menenteng beberapa polybag berisi bibit yang siap ditanam. “Saya mulai menanam ketika-pas tiga bulan menjadi ketua RT” jelasnya. “Waktu bupatinya masih pak Margono” jawabnya ketika kutanya kapan mulai menanam . Entah tahun berapa... tapi mungkin kira- kira tahun 80-an. Sudah puluhan tahun rupanya. Wajar kalau kini tampak akar dan batang pohon mangrove menguasai areal ini. Berdiri, berjejer, berhimpun, bertautan secara bebas.

Ojo gumunan” meminjam petuah sunan Bonang... Tentu beda dengan kegiatan seremoni-elitis yang hanya bersifat simbolik semata. Karena memang sejatinya penanam pohon adalah masyarakat itu sendiri. Para petani, nelayan dan masyarakat adat yang tinggal di desa-desa atau di pinggiran kota besar. Mereka memiliki tujuan atas apa yang dilakukan sebagai bagian langsung dari hidup keseharian. Memiliki kemampuan cara menanam, memelihara, menjaga dan memanfaatkan dengan sistem nilai yang mereka miliki. Hanya tersandra diantara kesempatan dan kesempitan akan lahan. Hingga sering terdengar ungkapan lirih atas himpitan ekonomi di sela pepohonan yang mereka tanam. Lalu kenapa mereka sering didakwa belum sadar?..

Bukankah ini sebuah kegiatan yang berhasil.. Bukankah ini sebuah kegiatan besar.. atas imajinasi dan inisiatif sendiri.. Meski tanpa plang, baliho, spanduk yang bertuliskan slogan-slogan ‘wah’.. Alat yang sering digunakan para elit untuk mengemas kegiatan dan aksi-aksi yang sebenarnya kecil. Bukan pula latah ikut-ikutan menanam dalam kegiatan seremoni yang ngetren setelah acara UNFCC[1] di Bali beberapa tahun lalu. Tanpa harus mengundang wartawan pada setiap proses penanaman agar dianggap green dan enviromental friendly. Tidak cuma teriak soal deforestasi atau ceramah bak ahli klimatologi.. tanpa nuansa kepentingan politik kekuasaan yang penuh sengketa dan antagonisme.. apalagi untuk menjadikan pentas agar terpuaskan dahaga akan popularitas.. menanam pohon semata sebagai kegiatan yang bersahaja. Lalu siapa yang belum sadar.. huhh. (GJ/Agst/10)


[1] (United Nations Framework Convention on Climate Change)