Terdapat pertapa Buddhis dari aliran Mahayana, guru yang paham akan Tantra, paham akan masa lalu, masa kini dan masa datang, lahir di Kerajaan Medang Kamulan, di tengah-tengah keluarga brahmana yang merupakan siswa penganut ajaran Buddha. Ayahnya seorang pandita Buddha bernama Mpu Lampita atau Danghyang Tanuhun, putra dari Danghyang Bajrasatwa (Vajrasattva). Mpu Baradah namanya, guru dari Raja Airlangga (Erlangga) pendiri Kerajaan Kahuripan.
"Baiklah, Baginda Raja.. Bagaiman kalau hamba yang membagi kerajaan Kahuripan ini menjadi dua bagian"
Keesokan harinya Mpu Baradah terbang melintas diatas wilayah kerajaan Kahuripan sembari menumpahkan air dari kendi yang ia bawa. Suara bergemuruh terdengar akibat air kian deras dan lebar membelah Kahuripan menjadi dua bagian menjadi aliran sungai besar. Prabu Airlangga menyerahkan bagian Timur sungai kepada Mapanji Garasakan menjadi Kerajaan Jenggala (Singosari), sedangkan bagian Barat diserahkan kepada Sri Samarawijaya menjadi Kerajaan Panjalu (Kediri). Atas bantuan Mpu Baradah tentramlah hati sang Prabu, bisa membagi secara adil kerajaan Kahuripan dengan Sungai Brantas sebagai batasnya.

Ada yang kedesa terdekat menjual ikan, ada yang merajut kembali jaring yang rusak, meramu bumbu masak ikan buat makan malam. Lewat obrolan malam demi malam, berinteraksi sepanjang aliran sungai siang demi siang, semakin terlihat bahwa banyak pengetahuan yang mereka miliki, ketrampilan yang dikuasai, tradisi yang terus mereka jaga dengan guna merespon moderenisasi. Sayang mereka hanya sering diatasnamakan oleh para elit penguasa... menjadi turus-turus angka ketika masa pemilihan tiba... Mereka adalah gambar kecil dari kebanyakan rakyat yang hidup di negeri perih getir ini... dimana kehadiran negara justru kadang menjadi petaka...

Mereka yang terus peduli dan konsisten menjaga mahakarya Mpu Baradah.
(Ghonjess)