
Apabila kita melihat bahasa secara utuh sebagai sistem dan proses, sebagai struktur dan wacana, kita harus mengatakan bahasa adalah penggunaan yang tak terbatas dari sarana yang terbatas. Dalam pemahaman bahasa yang demikian kreativitas manusia sebagai subjek pelaku bahasa menjadi penting. Pendekatan struktural telah menyumbang pemikiran penting dalam linguistik dan ilmu sosial, tetapi sebuah teori bahasa yang mengabaikan wacana mau tak mau akan membawa kita kepada pemahaman yang tidak seimbang mengenai bahasa. Hal ini mungkin yang menjadi pemikiran dari kalangan ahli bahasa sehingga muncul pemikiran baru tentang wacana, dengan tanpa mengabaikan hasil yang telah dicapai oleh pendekatan struktural.
Tiap kata yang kita jumpai dalam kamus atau dalam perbendaharaan kolektif lisan kita hanyalah memiliki arti potensial. Arti itu baru menjadi aktual dalam wacana ketika seorang pembicara menggunakannya untuk menyampaikan sesuatu kepada seorang pendengar. Dalam hal ini kata dalam kamus termasuk dalam tatanan semiotis, sedangkan kata dalam wacana menjadi komponen dari semantis.
Kata selalu tersedia untuk digunakan sebagai kata baru secara terus-menerus, sedangkan kalimat sebagai peristiwa ujaran bersifat sementara. Dan karena kata selalu dipakai terus-menerus dalam konteks baru, kata memiliki sejarah, ia mengalami inovasi arti. Dalam sejarah pemakaian kata bisa mendapat lebih dari satu arti, atau dengan kata lain memiliki arti majemuk yang dalam linguistik disebut polisemi.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana mungkin kata dengan arti majemuk dapat berfungsi di dalam pembicaraan sehari-hari dan dalam tulisan, tanpa menimbulkan banyak kerancuan dan salah paham? Kita dapat mengatakan bahwa arti dari sebuah kata bergantung dari konteksnya. Konteks disini bukan hanya tempat kata di dalam wacana, melainkan juga lingkup sosial yang turut mewarnai makna sebuah kata. Para ABG diatas bisa dianggap memiliki lingkup sosial tertentu.
Salah satu ahli bahasa Benveniste, secara tegas membedakan semiotik dan semantik, Semiotik berurusan dengan bahasa sebagai sistem tanda (langue), sedangkan semantik menyelidiki wacana (discourse) dengan pengertian bahwa yang satu tidak bisa di subordinasikan pada yang lain. Unsur terkecil discourse adalah kalimat, sedangkan unsur terkecil langue ialah tanda. Semiotik dan semantik, langue dan discourse, tanda dan kalimat, merupakan dua lapisan bahasa yang tidak bisa direduksikan satu terhadap yang lain.
Bahasa sebagai sistem tanda bersifat potensial dan abstrak, hanya dengan melalui wacana menjadi aktual dan konkret. Ricoeur dalam Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, membedakan wacana (discourse) menjadi:
1) Discourse as event, yang memiliki ciri-ciri adanya subjek (self reference) yang melakukan tindakan yang diaktulisasikan dalam suatu peristiwa dengan pesan yang ditujukan pada penerima pesan.
2) Discourse as speech, memiliki ciri-ciri adanya tindakan bertutur di mana dalam tindakan tersebut terjadi proses pemilihan atas kata-kata yang akan dituturkan sehingga makna tertentu dipilih dengan meninggalkan makna lainnya.
3) Discourse as metaphor. Metafor terjadi karena adanya satu makna yang berlawanan dengan makna yang lain berupa kiasan yang didasarkan pada similaritas. Dalam prosesnya metafor dapat mengundang metafor-metafor lain dan membentuk jaringan metafor sehingga membentuk makna baru. Ketika makna baru tersebut diterima dan hidup di dalam masyarakat maka akan terbentuk polisemikata.
Dengan demikian makna dari sebuah teks menjadi penting, karena makna teks merupakan dunia tersendiri yang berbeda baik dari maksud pengarang, maupun dari dunia referensial, yang dirujuk oleh teks. Makna yang melingkupi suatu peristiwa akan tetap tinggal, sementara peristiwa-peristiwa tersebut berlalu.
Ghonjess
Tidak ada komentar:
Posting Komentar