Usaha untuk memahami fenomena sosial agar dapat pemahaman sedekat mungkin dengan realita membuat antropologi mengalami pergeseran – pergeseran secara mendasar. Prinsip emik sebagai konsekwensi logis dari kesadaran tersebut membawa implikasi – implikasi baik secara teoritis maupun secara metodologis. Sejarah pengetahuan antropologi tidak bisa diabaikan begitu saja. Cara pandang (paradigma) lama masih membayang-bayangi cara berfikir ’ilmiah’ yang memberikan tantangan yang tidak sederhana.
Evolusionisme menjadi bahan pemikiran secara meluas dengan terbitnya The Origin of Species pada tahun 1859 oleh Charles Darwin. Meskipun Darwin bukanlah orang yang pertama yang memandang penciptaan species-species baru secara evolusioner, tetapi dia adalah yang pertama memberikan eksplanasi secara mendalam mengenai bagaimana evolusi itu terjadi. Selanjutnya evolusionisme memberikan landasan bagi terbentuknya berbagai paradigma dalam antropologi.
Paradigma positivisme pada studi-studi kualitatif bagaimanapun juga tidak terlepas dari sejarah ilmu antropologi itu sendiri. Pada studi kualitatif positivisme, seorang peneliti berperan sangat dominan dalam hubungannya dengan yang diteliti. Prosedur ilmiah yang digunakan diadopsi dari ilmu-ilmu alam yang sasaran penelitiannya bukan manusia. Teori digunakan untuk membangun hipotesa yang kemudian dibuktikan dengan penelitian lapangan. Pertanyaan mengapa menjadi dasar penelitian yang harus dijawab dengan eksplanasi. Pada penelitian seperti ini manusia yang menjadi sasaran penelitian seolah-olah menjadi objek yang tidak memiliki pikiran sebagaimana dalam penelitian ilmu alam.
Pergeseran cara pandang
Dengan kesadaran bahwa manusia mampu melakukan konstruksi sosial dan mampu melakukan manipulasi, cara-cara studi kualitatif positivism mulai di tinggalkan. Kesadaran tersebut memicu terjadi perubahan dalam studi-studi antropologi masa kini. Cara
Dari paparan diatas perubahan paradigma dari positivism ke konstruktivism dalam studi kualitatif telah menjauhkan peneliti dari teori yang digunakan. Teori hanya digunakan sebagai rambu dalam membangun hipotesa, dimana hipotesa tersebut terus dibangun selama dalam proses penelitian. Hubungan peneliti dengan teori sangat dinamis, karena peneliti melakukan sensitizing dalam penelitian ini, dimana sangat ditentukan dengan apa yang terjadi di lapangan. Konsekwensi dari metode ini adalah peneliti tidak bisa membangun teori pada level grand theory, tetapi lebih kepada middle range theory yang lebih dekat kepada fenomena atau realita yang diteliti.
Perubahan paradigmatik ini membawa antropologi ke ranah yang berbeda dalam melihat fenomena sosial. Keinginan untuk mereduksi kekuasaan peneliti dalam suatu proses penelitian, membuat terjadinya pergeseran tersebut. Kesadaran moral tentang keadilan bahwa mereka yang di teliti juga manusia, membawa isu yang sebelumnya memposisikan masyarakat sebagai obyek, sudah tidak lagi demikian. Peneliti dulu kok seperti memiliki kekuasaan tunggal atas pendefinisian terhadap realita- sosial yang ada. Hitam putihnya fenomena sosial berada pada peneliti. Hal ini sebenarnya banyak dipengaruhi pendekatan antroplogi lama.
Fenomena sosial kekinian
‘Deterritorialized’ yang diutarakan Arjun Appadurai menggambarkan bagaimana dunia dalam konteks kekinian sudah mengalami pergeseran. Kemajuan teknologi informasi, perfilman, hiburan , pariwisata telah membentuk masyarakat menjadi kompleks. Pada era kosmopolitan yang memiliki karakteristik yang kompleks dimana budaya transnasional sudah mempengaruhi cara pandang banyak orang, sudah sulit untuk mempertahankan pendekatan-pendekatan lama. Dimana masyarakat digambarkan masih sederhana tidak sekompleks saat ini.
Dalam kondisi fenomena sosial seperti ini etnografi sebagai salah satu pilar dalam ilmu antropologi menghadapi realita yang sudah berbeda dengan masa sebelumnya. Pengertian holistik yang semula merupakan pendekatan yang melihat masyarakat tertentu secara menyeluruh menjadi tidak relevan untuk digunakan lagi. Disini holistik dalam etnografi mengalami pergeseran sejalan dengan kompleksitas tersebut. Fungsi-fungsi dan keterkaitan-keterkaitan unsur masyarakat tidak lagi dalam satu lokasi, akan tetapi menjadi dibeberapa lokasi (multi situs).
Batasan-batasan budaya sudah mulai kabur, jalin-menjalin yang terjadi sudah tidak dalam dimensi teritori tertentu ‘deterritorialized’. Studi etnografi yang dilakukanpun mengikuti perkembangan yang terjadi. Demikian juga terminologi holistik yang digunakan, tidak lagi melihat keterkaitan antar unsur penyusun dalam satu lokasi tertentu, tapi lebih kepada dimensi multi-situs.
Pendekatan kekinian
Perubahan dalam cara melihat fenomena sosial kekinian seperti diatas bersama dengan adanya sifat kritik terhadap diri sendiri dalam kajian antropologi menuntut kesadaran kepada diri peneliti baik dari sisi akademik juga dari sisi moral. Hal ini menggeser bahasan antropologi masa kini dari isu :
status dan peran --- relasi dan oposisi
sistemik-objektif --- agent–subject
peneliti dominan --- reduksi dominasi peneliti
teori pra konsepsi --- konstruksi teori
positivisme --- emik–empirik
strutural fungsional --- interpretive–konstruktif
integrasi–struktur sosial --- konflik–resistensi
kekuasaan sebagai kata awal --- kekuasaan sebagai kata akhir
dari paparan diatas menunjukan bahwa kemudian yang harus terekam dalam etnografi adalah perubahan, kompleksitas, representasi, identitas serta relasi-relasi sosial yang ada pada fenomena sosial yang diteliti. Pergeseran dari sifat objektif ke subjektif maupun penggunaan prinsip emik dalam penelitian antropologi bukan relasi kausalitas dari keduanya, akan tetapi keduanya adalah konsekwensi secara teoritis dan metodologis atas perubahan cara pandang dalam antropologi, dan perubahan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat.
Ghonjess
Tidak ada komentar:
Posting Komentar