Membaca judul di atas yang dianggap sebagai philosophy dari sebuah organisasi (Telapak) tentu tidak sesederhana dengan melihatnya sebagai tujuh kata yang terangkai membentuk satu kalimat tanpa dasar. Karena memang dari awal, kalimat tersebut tidak dimaksudkan hanya untuk keren-kerenan atau hanya sekedar mencari sensasi belaka.
Kalimat tersebut mengkritik bahkan menggugat pandangan umum tentang kawasan konservasi yang menjadi wacana pemerintah dimana kawasan konservasi diartikan sebagai suatu kawasan khusus yang diberi label tertentu melalui ketetapan hukum. Kawasan yang dikontrol guna menjadi penyeimbang atas pembangunan yang dilakukan sebagai wujud pemenuhan ketentuan internasional. Tentu hal ini menimbulkan keresahan, karena penetapan tersebut dapat menjadi pembenaran bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan dengan pola eksploitasi pada kawasan di luar kawasan tersebut seperti HPH, perkebunan skala besar, pertambangan dan pembangunan agresif wilayah perkotaan. Padahal hal tersebut yang justru banyak memberi kontribusi terhadap rusaknya keseimbangan ekologi secara keseluruhan di tanah air.
Dampak dari pembangunan yaitu banjir dan longsor yang kemudian sering terjadi dapat menunjukan bahwa cara pandang seperti itu jelas salah karena masalah ekologi memang tidak bisa dilihat dengan cara kapling perkapling tetapi harus secara holistik, secara menyeluruh. Apalagi peristiwa banjir dan longsor yang terus terjadi tidak dijadikan bahan pembelajaran bagi pemerintah untuk melakukan perubahan dari pola yang ada, justru dijadikan pembenaran lain bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan kontrol terhadap dan akses kepada kawasan konservasi yang sudah ditetapkan. Kapling-kapling kawasan yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran inilah yang menjadi kritik utama dari kalimat judul tersebut.
Yang menyedihkan adalah upaya yang dilakukan pemerintah untuk menutupi kesalahan-kesalahan akan dampak yang timbul. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik memungkinkan melakukan konstruksi wacana bagi publik dengan cara mengorbankan kelompok masyarakat yang paling lemah. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian selektif, sistem pendidikan, politik pendanaan dan media masa dan kadang melibatkan LSM lingkungan serta perguruan tinggi. Mereka yang sering dijadikan kambing hitam atas ’dosa-dosa’ yang dilakukan pemerintah yaitu masyarakat yang berada di pinggir kawasan konservasi, petani di hulu (up-land) dan juga orang-orang miskin
Jadi penetapan kawasan konservasi atau teritorialisasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak melulu soal konservasi seperti yang banyak diajarkan di sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Teritorialisasi berupa penetapan suatu kawasan merupakan upaya negara untuk mengontrol suatu wilayah yang tidak sekedar khusus merujuk pada aspek geografis atau lokasi saja, akan tetapi memiliki dimensi sosial, ekonomi dan politik.
Judul diatas menawarkan gagasan pemikiran tertentu yang memandang persoalan lingkungan lebih holistik sebagai satu kesatuan ruang secara menyeluruh. Sehingga persoalan lingkungan tidak dilihat dalam arti yang sempit hanya dari segi hidro-orologis, ekologis, geologis, bio-geografis, dan klimatologis saja, tetapi melihat adanya relasi sosial antar manusia yang menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sehingga tidak seperti pemikiran umum yang melihat persoalan lingkungan berdasarkan analogi gampangan antara masyarakat dan alam saja. Disini dilihat bahwa relasi manusia dengan alam ditentukan dan dibentuk oleh relasi antar manusia satu dengan manusia yang lain. Dominasi manusia atas alam berakar dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Sehingga penghapusan dominasi manusia terhadap alam memerlukan penghapusan dominasi yang terjadi di dalam masyarakat manusia, jadi lebih dekat dengan pendekatan ekologi sosial.
Sampai disini terlihat bahwa kalimat tersebut juga menunjukan sikap politik yang tegas atas apa yang dilakukan pemerintah. Mempertanyakan dominasi negara atas sumberdaya alam yang justru banyak menimbulkan permasalahan bangsa. Apalagi penunjukan kawasan konservasi tersebut atas desakan internasional melalui bujukan dana dan NGO, sehingga kawasan tersebut hanya menjadi panggung drama yang mempertontonkan lemahnya pemerintah. Sehingga kalimat tersebut juga menuntut penghapusan segala bentuk hirarki dan dominasi antar manusia agar tidak terjadi dominasi manusia terhadap alam. Meskipun tidak sampai kepada jawaban atas pertanyaan klasik tentang kemungkinan sebuah sistem politik tanpa hierarki dan dominasi. Atau sedalam pergulatan pemikiran politik ekologi, paling tidak disini sudah ada gagasan dan imajinasi bahwa masyarakat harus memiliki tatanan sesuai prinsip-prinsip tertentu yaitu prinsip keadilan ekologi.
Jadi kalimat di atas di dalamnya tersirat makna yang lebih luas dari sekedar arti harfiahnya. Tidak sesederhana membalikan arti harfiahnya menjadi “tidak ada kawasan konservasi di tanah air
Mudah-mudahan dengan tulisan ini dapat memberi rangsangan agar kalimat diatas bisa ‘lebih hidup’ menuju artikulasi dari para anggota guna membentuk sebuah imajinasi kolektif dari sebuah organisasi gerakan yang bernama Telapak. Sebuah imajinasi tentang tatanan sosial yang lebih baik...
Ghonjess
Tidak ada komentar:
Posting Komentar