see the world

see the world

11 Januari 2008

Hairtails

Sedikit cerita dari Cibangban

Malam itu malam Minggu, di depan tenda ’Dome’ di atas pasir yang lembut dan hangat di pantai Cibangban, Kopral, Willis, Melly dan Dian di komandani oleh yudi yang bertelanjang dada asyik membakar ikan Layur, sementara Curut dan Hilbul, dua orang anggota tim ekspedisi putri Rinjani ini sibuk mengupas bawang merah - bawang putih, potong-potong cabe buat ’bumbu kecap’ teman makan ikan yang sedang dibakar diatas bara api. Ada juga yang sedang menanak nasi atau bantu Wiyan ketua BPCA yang lagi sibuk dengan ’mpca-nya’, atau mungkin ada juga yang sekedar melamun entah ngelamunin apa. Ceritanya Ikan Layur menjadi menu malam itu.

Kang Ude seorang nelayan Cibangban, dari dia kita memperoleh ikan layur dengan harga Rp 8000 /kg, ”udah kesorean mas belinya... ikan saya sudah habis, nanti saya carikan disebelah sana.... kali masih ada” ujarnya. Kang Ude sedang di bale-bale sebuah warung dekat perahunya yang lagi sandar waktu pertama kali kita temui. Dia sedang asyik mempersiapkan peralatan buat ’melaut’ ”siap – siap buat nanti malam mas...” ucapnya, mata pancing nomor 9 sedang disambung dengan kawat sepanjang kira-kira 10 cm, ”kalo gak gini pasti putus mas, ikan Layur giginya tajem” dia menjelaskan sambil memutar kawat dengan tang. Satu persatu mata pancing disambung kawat dengan membentuk lingkaran kecil seukuran ujung paku diujung satunya, lingkaran kecil tersebut digunakan sebagai tempat mengikat nilon nomor 400 yang digunakannya. Kali ini dia menggunakan lebih dari 100 mata pancing untuk satu rangkaian panjang pancing Rawainya, ”kalo di Pelabuhan Ratu bisa sampai 1000 mata pancing mas.... panjangnya aja sampe beberapa kilometer” kang Ude menjelaskan lagi.

Nelayan Cibangban berangkat melaut dini hari mulai pukul 03.00, paling lambat mereka berangkat pukul 04.00. Dengan menggunakan perahu kecil bercadik dengan mesin 7 PK, serta peralatan memancing rawai dan penerangan petromaks mereka melaju ke fishing ground, ketika ditanya jaraknya dari pantai berapa jauh mereka jawab ”kira-kira habis 1 liter solar kita baru sampe mas...” dan mereka kembali ke pantai Cibangban kira-kira pukul 10.00 – 11.00 , begitu merapat telah banyak pembeli yang datang dengan menggunakan sepeda motor beserta box ikan berwarna putih yang diikat dibagian belakang motornya.

Kang Ude merupakan salah satu dari sekitar 16.000 nelayan tradisional yang tercatat di Kab. Sukabumi yang tersebar di Pelabuhanratu, Cisolok, Cibangban, Ujunggenteng, Minajaya, Ciwaru, yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi terbentang mulai dari Kecamatan Tegalbuleud sampai Kecamatan Cisolok dengan panjang pantai sekitar 117 kilometer. Di wilayah ini ada 4 TPI (tempat pelelangan ikan) yaitu dua di Kecamatan Cisolok yaitu TPI Pajagan dan TPI Cibangban, dan dua lagi berada di Kecamatan Pelabuhan Ratu yaitu TPI Pelabuhan Ratu dan TPI Loji.

Kang Ude menggunakan alat tangkap jenis pancing Rawai (other drift long line), jenis alat pancing yang menggunakan rangkaian sejumlah pancing yang diberi pemberat diujungnya dengan sejumlah pelampung disepanjang tali nilon ukuran 400 yang dioperasikan secara sekaligus. Cara ini dilakukan dengan dihanyutkan (drifting) atau diseret perlahan dengan perahu selama 2-3 jam kemudian ditarik untuk diambil hasilnya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan ada beberapa jenis pancing rawai, diantaranya Rawai Tuna (tuna drift long line), Rawai Tetap, Rawai Dasar Tetap dan Rawai hanyut lainnya selain Rawai tuna (other drift long line). Mungkin saja yang dimaksudkan kang Ude menggunakan 1000 mata pancing lebih adalah Rawai Tuna, karena biasanya alat pancing jenis ini menggunakan 1000 – 2000 mata pancing untuk sekali turun, tentu menggunakan perahu bemotor yang lebih besar dan tenaga kerja yang lebih banyak.

Menurut Ditjen Perikanan (1979), Ikan Layur (trichiurus spp) atau di Sibolga biasa disebut ikan Baledang tersebar disebagian besar perairan pantai di Indonesia, juga terdapat di perairan Jepang, Philipina, Teluk Benggala, Teluk Siam, Sepanjang Laut Cina Selatan, pantai utara Australia hingga di Afrika Selatan. Ikan ini memiliki bentuk badan yang panjang dan gepeng seperti pita, biasanya memiliki panjang 70 – 80cm tapi pernah juga ditemukan hingga 150cm . Memiliki mulut yang lebar dan tidak bersisik dengan warna keperak-perakan. Kedua rahangnya dilengkapi dengan gigi yang kuat dengan rahang bawah lebih menonjol daripada rahang atasnya.

Ikut nelayan pancing rawai melaut menurutku menyenangkan, sekedar berbagi cerita beberapa tahun yang lalu aku pernah ikut nelayan pancing rawai Pulau Saponda, di Kendari propinsi Sulawesi Tenggara. Seru..., waktu line yang terdiri dari rangkaian 85-an mata pancing ditarik keatas perahu, ternyata lebih banyak yang ’isi’ dari pada yang ’kosong’, beberapa ikan yang tersangkut di mata pancing didapat tinggal sepotong, bagian perut hingga keekor telah hilang. Ternyata lumba – lumba ikut ’nimbrung’ pesta ikan tersebut. lumba-lumba secara berkelompok terdiri dari 3-4 ekor dengan cerdik nyaplokin ¾ badan ikan –ikan yang lagi ditarik tanpa menggigit mata kailnya... sesekali mereka mendekat hingga 4 – 5 meter dari perahu. Nelayan yang mengendalikan motor sesekali berteriak ”hush... hush... hush ...” seperti petani yang sedang panen sibuk menghalau burung pipit yang makan padi..... dan si lumba-lumba seperti meledek sesekali berakrobat lompat diatas permukaan air...... byuuuur..... Tidak tau apakah nelayan di Cibangban juga mendapati peristiwa seperti itu. Mudah – mudahan lain waktu bisa ikut nelayan melaut disana....

Plastik hitam digelar diatas pasir, ditengah dibuat sedikit cekung untuk tempat sambal kecap buatan Curut dan Hilbul. Nasi dan ikan Layur bakar ditata melingkar disekitarnya. Senang rasanya makan keroyokan, yang terlihat hanya tangan – tangan silih berganti mencomoti nasi, ikan dan sambal. Anas tidak lupa mengingatkan ”...awas ikan Layur banyak durinya..” ada juga yang mengingatkan ”.. hoi... kakinya dijaga.... ini nasi udah bercampur pasir.... ”

Kebersamaan memang indah....

Ghonjess

Tidak ada komentar:

Posting Komentar