see the world

see the world

25 Agustus 2011

Hantu Besi Meresahkan Muara Tae

Hari Jum’at...  “bagaimana tidur semalam, ada sesuatu gak?” tanya pak Asuy. Pertanyaan yang mengagetkan. Karena seolah beliau tahu apa yang terjadi semalam. “baik baik saja pak” jawabku spontan. “bagian pojok pondok ini terlalu maju” ucapnya sambil menunjuk ke tempat ku tidur semalam. “ini lintasan tempat mereka lewat... kita menutupi jalan mereka” tegasnya. “siapa mereka pak?” tanyaku mencari penegasan. “ya mereka.. hantu yang tinggal di hutan ini” jawab beliau datar tentang dunia lain.

Setahuku memang di kalangan masyarakat sini relatif mempercayai adanya kehidupan gaib. Yang ada pada mahluk hidup dan juga benda mati. Pada manusia, binatang, pohon besar, juga pada mandau, batu besar, gunung, pertigaan sungai,  atau yang lebih kompleks lagi seperti adanya perkampungan gaib. Begitu kelihatan erat hubungan antara mereka dengan kosmos. Terlihat dari adanya aturan dan norma yang mengatur hubungan mereka dengan hal-hal yang bersifat metafisik. Pelanggaran akan aturan akan ditanggapi serius. Karena dianggap dapat merusak keharmonisan hidup bersama. Hanya aku agak terkejut atas pertanyaan diatas... karena peristiwa semalam... wuiih.

Hutan Muara Tae...  malam jum’at...  bulan purnama... sudah beberapa hari ini kami berdua tidur di pondok jaga di tengah hutan. Kali ini tidak ditemani warga karena mereka sedang ada kesibukan di kampung. Aku coba tidur di pojok pondok bagian luar yang tidak berdinding, sementara temanku memilih tidur di dalam. Cahaya rembulan sebagian menerobos rimbunnya dedaunan, menambah dramatis siluet hitam batang pepohonan. Menciptakan suasana temaram dengan berbagai pola bayangan yang halusinatif. Merangsang memori otak akan pengalaman rasa takut tentang dunia metafisis yang abstrak. Membuatku terus terjaga... tiba tiba secara reflek aku berpaling ... ada suara yang begitu nyata di sela ranting dan dedaunan... ada sekelebat bayangan yang melayang turun dari atas pohon.. ... Juriiiiig...  teriakku keras...

Dengan susah payah aku berdiri... terjebak dalam sleeping bag sialan... Kosar temanku kelihatannya merespon teriakkan ku... ia terlihat sudah berdiri di depan pintu pondok... Dengan penerangan headlamp dan hati-hati kami hampiri arah suara tersebut. apa tadi ya?.. paling daun lebar pohon makaranga yang sudah kering... terkena sinar rembulan ketika melayang jatuh... huuuh... ngagetin aja... umpatku setengah yakin... sudahlah tak usah takut... coba berfikir tenang dan rasional... Korteks sensorik otakku menerima informasi dari panca indra secara bersamaan. Membangkitkan kenangan emosional di bagian otak yang berperan mempengaruhi ketakutan dan kecemasan. Mengalami ketidak mampuan mengidentifikasi dan meng interpretasi stimulus yang diterima oleh panca indra. Membuat persepsi atas kejadian seolah adalah sebuah kebenaran yang nyata... siaaal... tidak berhasil... masih tetap merinding... mending cari kayu bakar... segera nyalakan api...

Ada banyak istilah dan nama yang berkaitan dengan roh dan makluk gaib di daerah sini. mudah-mudahan aku tidak salah dengar.. Liaau roh badan orang mati, kuyaakng roh yang menempati pohon beringin, bongaai roh yang tinggal di hutan,  nyahuq sekelompok roh yang menjelma dalam wujud berbagai binatang, nayuk... dll. katagori yang ada mengisyaratkan bahwa mereka dekat dengan yang immateri. Menempatkan dunia gaib dan roh menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Lihatlah ketika kami istirahat makan siang di tengah hutan, pak Asuy membagi apa yang kami makan dengan mereka yang gaib yang ada di sekitar. Juga menyelipkan daun tertentu dibagian belakang tas sebagai isyarat yang ditujukan pada roh tertentu. “kadang dari sini terdengar keramaian... semacam ada perkampungan di hutan di jurang sana” ucap pak petinggi. “Kadang kami juga memanggil mereka jika memang dibutuhkan”. Tegasnya lagi. Tentu mereka mempunyai cara dan metode untuk melakukan itu semua. Memiliki tata cara ritual adat  dengan pakem tertentu ketika berkaitan dengan metafisik. Memiliki keyakinan sendiri dalam peristiwa kelahiran, kematian, penyembuhan, penyucian, perlindungan, siklus tanam, dan lain-lain. Seperti dalam upacara belian, guguq, kwangkai, tota timui, dll. Juga mengundang dan menyambut roh para leluhur untuk bergabung bersama dalam upacara adat yang mereka lakukan dengan penuh hormat. 

Wajar kalau pak Asuy bertanya dengan lugas tentang kejadian semalam. Seolah seperti sesuatu yang lumrah... sudah biasa.. bukan sesuatu yang ganjil. Mungkin juga karena beliau memahami cara bagaimana seharusnya menghadapi hal-hal tersebut. Sebagai warisan dari leluhur yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Terus mengisi sisi spiritual yang tak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas dan ilmu pengetahuan... Di hutan...“apa gak takut pak sama hantu” sembari merokok dan ngopi aku bertanya. “ada satu hantu yang saya takuti... hantu besi... yang menggusur hutan dan ladang kami... membunuh anak sungai... meratakan bukit-bukit"...  

21 Agustus 2011

Cari Air ke Ciptagelar, Jumpa Gendon di Lantayan

Sedikit demi sedikit air dalam cerukan disiuk ke jirigen... ternyata sudah jernih setelah didiamkan semalaman... cerukan dibeberapa batang pisang juga sudah terlihat penuh... sruput.. sruput ... ah seger juga minum air batang pisang dipagi hari... lumayanlah... dapat hampir setengah jirigen buat bekal turun ke kampung. Maklum sudah 3 hari menapaki punggungan hutan... bekal air sudah habis... Tampungan air hujan dari flysheet juga sudah habis buat masak kemarin... hingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan air... meski posisi sedang berada di puncak gunung... keterbatasan air memaksa kami untuk turun ke kampung terdekat... jam demi jam berlalu... air dalam batang bambu  yang  dijumpai  tumbuh  di pinggir trek jadi obat dahaga ketika rasa haus mendera... agar bisa tiba di sungai terdekat nun jauh dibawah sana.

Hari menjelang sore...  rasa lapar diganjal dengan ranum ungu buah harendong yang tumbuh di kiri kanan jalan... akhirnya setelah 5 jam berjalan kaki, persawahan dusun Cipulus di kasepuhan Ciptagelar mulai terlihat... dari kejauhan tampak pondok kayu beratap belahan batang bambu yg saling bertangkup (talahap)... sedikit di bawahnya terlihat lantayan, untaian-untaian (pocong) padi yang terjalin rapi yang sedang dijemur... membentuk benteng kecil segitiga berwarna kecoklatan... membangkitkan rasa ingin tahu... Disini air berlimpah, teknologi irigasi warga kasepuhan bukan hanya canggih, tetapi juga indah... parit dan talang air bersilangan mengairi areal persawahan yang luas, berundak-undak memanjakan mata dengan dimensi kedalaman, membentuk ukiran bentang alam raksasa... sebuah karya cipta yang harmonis... ditempat inilah akan kulewati malam menyambut pagi.

Pagi yang cerah.... sinar matahari pagi mencipta gradasi indah sawah berundak yang luas... memberi kehangatan sehangat mereka yang ku jumpai. “panen kali ini lumayan mas” ucap seorang petani bersama sang istri yang sedang menjemur padi di lantayan.  “disini... kami hanya menanam satu kali dalam satu tahun” penjelasan mereka yang membuat penasaran ....tidak biasa... Karena kebanyakan petani menanam lebih dari satu kali dalam setahun. "kenapa hanya sekali pak?” tanyaku penasaran. Aku mendapatkan jawaban yang sangat filosofis. “seorang ibu hanya melahirkan satu kali dalam satu tahun"...  Ternyata mereka masih memegang teguh prinsip leluhur. Menempatkan bumi sebagai ibu dalam sistem pengelolaan pertanian yang merupakan peninggalan karuhun (leluhur).. “guk... guk...guk...” dua ekor anak anjing mengiringi kepergian mereka berdua kearah sawah di pinggir hutan... sungguh perjumpaan yang penuh arti.

Setelah packing kami beranjak meninggalkan pondok kecil di dekat lantayan... melanjutkan trekking meninggalkan areal persawahan.. menurun dan mendaki... melintasi sungai berbatu dengan gemericik air yang jernih... menuju ke hutan yang masih lebat di atas sana... tiba-tiba... guk... guk.. guk... ternyata anak anjing di lantayan menyusul mengikuti kami... terus ikut hingga ke tengah hutan setelah kurang lebih 2 jam perjalanan. Ia ikut istirahat ketika kami berjumpa dengan warga kasepuhan yang sedang membuat papan. Mereka sedang panen raya rupanya.. hasil panen sudah tidak tertampung lagi dilumbung. untuk bikin leuit baru pak” ucap mereka. Sungguh kebetulan setelah jauh dari kampung bisa bertemu  warga kasepuhan. Karena bisa minta ijin untuk memiliki Gendon.. si anak anjing yang  terus bersama kami melintasi hutan dan sungai hingga ke desa Cipeuteuy... Tujuan akhir setelah 5 hari perjalanan... Menjadi awal babak baru bagi si Gendon yang misterius...