see the world

see the world

06 Desember 2009

Folder Kosong

Kadang senang rasanya mengingat masa yang sudah lewat. Disana banyak tersimpan cerita dan kisah yang beraneka warna... Keceriaan... canda tawa... ngobrol hingga larut... tingkah laku konyol yang menggelikan... kadang juga tangisan.... Ingatan itu kadang muncul begitu saja... sekilas terus hilang... atau bertahan agak lama hingga bikin kita melamun dan tertawa sendiri seperti orang gila. Namun bisa juga ingatan itu muncul karena kita memang ingin mengingatnya. Karena ada sepenggal masa yang kita anggap istimewa. Menjadi istimewa biasanya karena kisah itu indah... indah karena ada kisah sedih juga kisah bahagia.


Aku juga punya sepenggal kisah cerita masa lalu yang istimewa... Sepenggal karena memang durasinya tidak lama... Menjadi istimewa karena memang paket lengkap, meskipun singkat tapi padat akan isi cerita. Tidak hanya sekedar kisah sedih atau bahagia, masih ada yang namanya dilema. Tapi cukup sampai disitu yang bisa kuingat. Berulang kali aku berusaha untuk mengingat detil isinya... gagal... kucoba lagi.... tidak berhasil.... meskipun kucoba buka foto-foto pada saat itu... tetap saja aku selalu gagal ketika ingin mengingatnya... padahal aku cuma ingin bisa melamun dan tertawa sendiri seperti orang gila... kubuka satu foto... biasa saja.... foto yang lain... juga biasa saja.... Semuanya terasa begitu biasa saja.... tidak bercita rasa... memang aku tidak akan pernah bisa berhasil mengingatnya kembali... apa lagi merasakanya....


Karena kisah itu ternyata tinggal folder kosong ...cuma ada judulnya.... semua file didalamnya sudah tidak ada... mungkin sudah ku DEL semua.... hanya aku lupa... siaaal.... aku benar-benar sudah lupa.....


Ghonjess

09 November 2009

Good News and Bad News

Kemarin hari yang menggembira kan .... karena bisa ngobrol panjang dengan seorang teman melalui telpon... merasa gembira... pertama karena itu adalah rekor terpanjang aku mendengar ia bercerita... karena selama mengenalnya jarang aku bisa mendengar dia bercerita panjang lebar tentang suatu hal... karena biasanya aku yang lebih senang bercerita, ngoceh sana sini kepadanya.... kedua karena apa yang dia ceritakan.... ceritanya menjadi kabar gembira karena membuat aku merasa apa yang telah kulakukan tidak sia-sia... mengajak generasi muda untuk mengisi masa kuliah tidak hanya sekedar tentang diktat, kos-kosan dan kampus... mengisi masa muda dengan menapakan kaki ketempat yang tidak biasa... menghampiri alam untuk mengisi hari-hari... menjadikan alam sebagai salah satu guru dalam menempa diri... untuk mengisi kekosongan dari apa yang tidak didapatkan di kampus dan rumah...


Beberapa hari ini di TV lagi ramai berita tentang cicak dan buaya... kisruh KPK dan Polri... apapun itu yang dirasakan cuma rasa prihatin melihat para penegak hukum saling ngotot.... semua merasa paling benar... pendeknya lakon drama yang memalukan sedang ditampilkan di panggung hukum nasional.... ini bukan sekedar masalah hukum.... ini masalah moral... ucap salah satu pengamat politik... ya begitulah... jika penguasa negeri ini diisi oleh para elite.... elite yang pintar tapi kurang bermoral.... mungkin mereka pintar jika dilihat dari sisi kemampuan akademis dibidang masing-masing... akan tetapi krisis disisi moralitasnya... mungkin mereka tidak sempat melakukan refleksi diri... tidak sempat melakukan distansiasi... tidak sempat berguru kepada alam... tempat belajar segala bentuk kebajikan....


Makanya aku senang mendengar telpon temanku itu... kisah generasi muda yang menempa diri berguru kepada alam... sejak kuliah sudah melakukan refleksi diri, distansiasi agar dapat memahami.... menempa diri untuk menjadi bijaksana sejak dini... sebelum kelak mereka menjadi kelompok elite yang berpengaruh di negri ini... bisa menjadi manusia-manusia bijak.... bisa menjadi harapan negri ini di masa datang... menggantikan para elite yang lagi manggung saat ini...


Di akhir pembicaraan dia sempat sampaikan satu hal.... tentang enggan untuk bertelpon ria.... akupun enggan bertanya kenapa.... hingga telpon ditutupun aku tidak bertanya kenapa... tidak ada hasrat untuk menebak atau berandai-andai... aku cuma mau bilang terima kasih sudah mau berbagi cerita... karena itu membuatku senang....


ghonjess

29 Oktober 2009

tanya sang anak (Gibran)



Konon pada suatu desa terpencil terdapat sebuah keluarga. Terdiri dari sang ayah dan ibu serta seorang gadis kecil... Pada suatu hari sang anak bertanya pada sang ibu...Ibu!... mengapa aku dilahirkan oleh seorang ibu? Sang ibu menjawab, "Karena ibu lebih kuat dari ayah" Sang anak terdiam dan berkata, "Kenapa begitu? ..ayah, kenapa ibu lebih kuat dari ayah?.. Ayah pun menjawab,"Karena ibumu seorang wanita..". Sang anak kembali terdiam. Dan sang anak pun kembali bertanya... "Ayah... Apakah aku lebih kuat dari ayah?.." Dan sang ayah pun kembali menjawab," Iya, kau adalah yang terkuat" Sang anak kembali terdiam dan sesekali mengerut dahinya. Dan dia pun kembali melontarkan pertanyaan yang lain... "ayah... Apakah aku lebih kuat dari ibu?". Ayah kembali menjawab, "Iya kaulah yang terhebat dan terkuat "... Kenapa ayah, kenapa aku yang terkuat? " Sang anak pun kembali melontarkan pertanyaan.

Sang ayah pun menjawab dengan perlahan dan penuh kelembutan.
"Karena engkau adalah buah dari cinta...
Cinta yang dapat membuat semua manusia tertunduk dan terdiam...
Cinta yang dapat membuat semua manusia buta, tuli serta bisu...

Dan kau adalah segalanya buat kami...
Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami...
Tawamu adalah tawa kami...
Tangismu adalah air mata kami...
Dan cintamu adalah cinta kami...

Dan sang anak pun kembali bertanya.
Apa itu Cinta, Ayah?...
Apa itu cinta, Ibu?...

Sang ayah dan ibu pun tersenyum dan menjawab 
"Kau... kau adalah cinta... Cinta kami sayang.."

19 Oktober 2009

16 Oktober 2009

Ajari Aku Menikmati Hal-hal Sederhana


anak pake seragam SD di gandeng seorang ibu jalan di trotoar; cewek berdandan menor pegeng hp pulang kondangan di dalam angkot; mobil pada antri di belakang tukang baso di tanjakan; anak kecil nangis si ibu lagi bakar sampah; seorang ibu pake caping besar bawa bibit padi siap tandur di pinggir sawah.. thx God... msh bisa liat yg kyk gini..

ghonjess

10 September 2009

Riak Danau Lido

Kita akan melihat sebuah danau kecil ketika melintas di jalan poros ke arah Sukabumi... tentu akan menarik perhatian setelah melewati kemacetan Ciawi yang kadang membuat jengkel... Lido... begitulah danau yang terletak diantara Gunung Salak dan Pangrango tersebut dikenal oleh masyarakat.. Sebuah danau dengan pulau kecil di tengahnya, terdapat rakit-rakit bambu yang berayun-ayun mengikuti riak air... terletak di Kec. Cijeruk kurang lebih 21 km dari kota Bogor.. berada di ketinggian 458 mdpl sehingga tempat ini memiliki udara yang sejuk... adalah Van den Bosch, orang yang memerintahkan dibuatnya danau ini...


Pada era tanam paksa (cultuurstelsel) yang merupakan buah karya van den bosch, perkebunan di buat dimana-mana. Di desa-desa pada prakteknya seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Bagi warga yang tidak mempunyai tanah atau lahan pertanian wajib bekerja setahun penuh di lahan perkebunan, meskipun peraturan yang dikeluarkan pemerintahan belanda sebenarnya tidak demikian.. yah... namanya juga penjajah... pasti sesukanyalah...


Danau Lido sendiri dibuat untuk memenuhi kebutuhan air bagi areal perkebunan Pondok Gedeh yang ada di Cigombong. Bosch mengerahkan masyarakat sekitar untuk membangun danau ini, antara lain dengan menggunakan ijuk, batu, dan pasir sebagai pondasinya. Membendung aliran sungai yang berasal dari Ciletuh, Ciketing, Pereng dan rembesan air dari dataran yg lebih tinggi di Cigombong. Ini dilakukan siang dan malam oleh para pekerja... pekerja paksa tentunya....


Era tanam paksa memang era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda, jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC. Aset tanam paksalah yang membuat negeri Belanda bisa menjadi salah satu negara maju di dunia. Untuk itu Van den Bosch selaku penggagas Cultuurstelsel dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda pada tanggal 25 Desember 1839, karena sistem ini yang memakmurkan dan mensejahterakan negeri Belanda.


Sehingga ketika melewati danau Lido... bukan hanya keindahan panorama dan kesejukan tempat rekreasi yang nyaman yang kubayangkan... kadang terlintas cerita tentang penderitaan rakyat Indonesia pada era penjajahan ... kekejaman penjajah pada para pekerja paksa yang membangun danau tersebut... tangisan anak istri disetiap kematian.... Riak air danau Lido memang menyimpan banyak cerita... sayangnya sebagian besar cerita duka....


Ghonjess

Top 10 DSLR Mistakes and How to Avoid Them


We've all been there - the light is perfect, the subject is willing, the moment is just right - when you suddenly realise that you're not going to able to capture that award-winning shot after all. Here's a handy list of the most common mistakes that DSLR shooters make, and how best to avoid them.

1. Left your kit at home

As your photography equipment expands, it can be easy to leave something at home that you thought would be insignificant but actually turns out to be vitally important. We're not suggesting that you carry everything with you every time you venture out the door, so it's important to take a few moments, "visualise" your next photographic trip, then pack a bag accordingly. Or you could work out at the gym and take everything bar the kitchen sink...

2. Not recharged the batteries

This is perhaps the most frequent mistake of all time, and almost always results in a despondent trip home. To avoid this, buy a spare battery, no, make that two, or better yet, choose a camera that uses easily-accessible AA batteries. Always recharge the batteries the night before a shoot, even if they were charged the last time you used your camera. And whatever you do, don't combine mistakes 1 and 2!

3. Set the wrong ISO speed

Being able to change the ISO speed at will is now an accepted part of photography, as natural as changing shutter speed or aperture (the days of having to wait until the end of the film are long gone). With this new-found freedom comes the danger of leaving your camera on the wrong ISO setting for the current situation, which tend to happen especially in-between shoots. So make sure to always triple-check the ISO before you get started, and you'll never have an unwanted noisy image again.

4. Left the lens cap on

Wondering why the frame is dark and the camera is suggesting a 30 second exposure? Quick, check the front of your lens! This is the one mistake that makes you look most foolish, especially in front of another photographer...

5. Forgot to reset Exposure Compensation

Picture too dark or light, and you have no idea why? You've almost certainly forgot to reset the exposure compensation after that last difficult exposure, or you've accidentally changed it to an off-the-scale value. If you're shooting in RAW and the photo is too dark, you may be able to recover it - massive overexposure is a different story...

6. Shot in JPEG instead of RAW

Not the worst mistake in the world if you and the camera get the exposure right, but very annoying if the photo is underexposed, the white balance is wrong, or you just usually shoot in RAW and enjoy its many benefits. You can convert an image from RAW to JPEG, but not the other way round, so if you want to get the best out of your photos, double-check the image settings.

7. Chimped a prize-winning picture

The recent advent of bigger, brighter and clearer LCD screens has made it easier than ever before to review, sort and delete, known as "chimping", your photos in-camera. STOP! Don't do it! Fight that compulsive urge and wait until you can look at them on that nice 24 inch monitor in the comfort of your own home. Memory is incredibly cheap nowadays, so invest in some rather than inadvertently delete that prize-winning picture (probably without even knowing it).

8. Blurry pictures

You could have sworn that the picture looked sharp on the LCD screen, but at 100% magnification on a decent monitor, there's no getting away from the fact that it's just plain burned. Delete. Another one for the Recycle bin. If you're hand-holding the camera, always use a shutter speed that is faster than the focal length - so use 1/400th second or faster for 300mm, or 1/80th or faster for 70mm. Better still, use a tripod, the mirror-lockup function and a remote release, and never have to worry about blurry pictures again.

9. Spent more on a camera body than the lens

Photography is one of those rare combinations of art and science, but it can be easy to forget the former and spend all your money on the latter. Photographers' just can't resist lusting after the latest DSLR cameras, which promise more features, faster performance and better images than the previous model. But it's actually a wiser idea to start by upgrading your lenses, rather than the body, especially if you're still using the cheap kit lens that came with the camera, as the lens has the most influence on image quality.

10. Didn't check the memory card before formatting

Check, check and check again that you've transferred all the photos from your memory card to your computer BEFORE you format it. There's no worse feeling than realising that you've deleted all the photos from your last shoot. On the other hand, make sure you do format the card in-camera after you've copied your photos. If you format it on your computer instead, there's a greater risk that it will eventually become corrupted, and you might lose some photos from an error.

Have you got your own top tips for avoiding common DSLR mistakes? Share them with everyone by leaving a comment below...

sourch: http://www.photographyblog.com/articles/top_10_dslr_mistakes_and_how_to_avoid_them/

Naik Hard -Top


under construction

gw mo nulis ttg perjalanan gw mendaki gn latimojong di sulsel

07 September 2009

In August and Everything After (part 2) : Go Deep

Leang Putte, the death chamber, single pitch 260 m vertical.

gak pernah terpikir sebelumnya bakal pernah ke Leang Putte... salah satu goa yg banyak menjadi obsesi para caver... mungkin lagi beruntung bisa sempat mengalami SRT-an (single rope technique) di tempat yang begitu mengagumkan... more than just experience....

ghonjess

In August and Everything After (part 1) : Go Up


finally.... cuma itu yg bisa ku katakan ketika kakiku menjejak di Rante Mario, nama puncak tertinggi dari beberapa puncak yg ada di peg.Latimojong. Ada yg pernah tanya, "terus apa yg kamu rasakan?"... aku jawab.....

I was feeling empty at first, and then I started to feel so peaceful and at the end, I felt sad..don't know why..

ghonjess

24 Juli 2009

Kencan Tanpa Hati


kata gibran ....."semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa..... maka semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan....

meskipun kau katakan kehadiranmu tanpa hati.... cinta mampu menembus semua keterbatasan manusia....

ghonjess

14 Mei 2009

Bangsa Setan-Setan

Lebih dari dua abad silam terbit sebuah tulisan pendek yang berpengaruh besar dalam pemikiran politik sampai dewasa ini. Tulisan itu berjudul Zum ewigen Frieden (1795): Menuju Perdamaian Abadi. Penulisnya adalah Immanuel Kant (1724-1804), filsuf Aufklärung Jerman, penduduk Koenigsberg—sekarang Kaliningrad—dari lahir sampai kematiannya.


Berbeda dari kebanyakan teks filsafat lain, tulisan Kant ini berbentuk ”perjanjian perdamaian” seperti yang dapat kita jumpai pada teks-teks hubungan internasional pada zaman itu. Ada pembukaan, pasal-pasal pendahuluan, pasal-pasal definitif, jaminan perjanjian, pasal rahasia, pasal-pasal tambahan, dan lampiran. Dalam buku kecil itu filsuf yang termasyhur dengan Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Nalar Murni) ini merumuskan filsafatnya tentang hubungan antara politik, alam, dan moral.


Dalam ulasan ini saya ingin memusatkan perhatian pada sebuah tesis yang ditulisnya dalam pasal tambahan buku itu. ”Masalah pendirian negara,”demikian tulis Kant, ”…dapat dipecahkan bahkan oleh suatu bangsa setan-setan (asalkan mereka memiliki akal)”. Apakah maksud kalimat aneh ini? Bayangkanlah the founding fathers sebuah republik sebagai setan-setan jahanam yang serba egois bertekad bersama mendirikan negara. Rakyatnya juga setan-setan. Dan, Kant yakin: negara itu bisa berdiri. Sebuah tesis yang ganjil, bukan? Besar rasa ingin tahu kita mengetahui asas-asas mana yang kiranya akan diambil oleh makhluk-makhluk egois itu.


Di sini saya ingin merumuskan asas-asas itu dan berargumen bahwa asas-asas itu—yang bisa kita sebut ”universalisme keras”—bermanfaat untuk mengatur hubungan sosial politis dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, tetapi asas-asas itu tidak memadai dan harus dilengkapi dengan ”universalisme lunak”.


Politik dan alam

Asas pertama dapat dirumuskan demikian: Susunlah konstitusi negara yang netral dari agama dan moral sehingga tidak menjerumuskan rakyat pada konflik moral ataupun agama, melainkan memperhitungkan bagaimana ”mekanisme alam” mengatur hubungan antarindividu. Setan-setan jelas tak bermoral, tetapi setan-setan Kantian bukan serigala-serigala yang melulu naluriah, melainkan egois-egois yang berpikir rasional-strategis. Frase dalam tanda kurung ”asal mereka memiliki akal” sangat sentral. Jadi, mereka akan menyingkirkan segala nilai moral ataupun religius yang kontroversial agar mereka dapat menjamin kepentingan privat mereka dengan suatu konsensus rasional untuk tidak mengintervensi privasi masing-masing. Jika negara itu berdiri, ia akan melindungi setiap setan individual untuk menjalankan kebebasan privatnya masing-masing. Hukum mereka berlaku untuk semua setan dan diterima oleh segala setan bukan karena ”seharusnya”, melainkan karena ”nyatanya” cocok dengan kepentingan mereka. Hukum itu suatu ”universalisme keras”.


Sekarang marilah beralih sejenak ke sesuatu yang bukan setan: suatu bangsa manusia-manusia yang terdiri atas puluhan etnisitas, memeluk berbagai agama dunia dan puluhan agama suku yang berbeda-beda, memiliki orientasi moral dan politis yang berlain-lainan seperti Islam, Kristen, Sosialis, dan Liberal, yang masing-masing dengan banyak aliran atau sektenya. Tentu manusia berbeda dari setan Kantian itu. Manusia bermoral, beragama, dan berbudaya! Namun, persis inilah yang membuat mereka sulit sekali bersepakat untuk sebuah konstitusi negara yang mengatur masyarakat majemuk itu. Masing-masing kelompok mendakukan kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya. Mereka berpikir bahwa perdamaian dapat dicapai dengan mengkhotbahi para warga negara. Namun, khotbah atau nasihat moral tidak juga mengubah kebandelan mereka. Tegangan pun terjadi di antara mayoritas dan minoritas. Pluralisme dianggap menguntungkan minoritas, maka mayoritas menerapkan doktrin puritan untuk memberangus segala penyimpangan. Konflik agama dan etnis pun meletus di antara mereka.

Perbedaan bangsa manusia dan setan-setan Kantian itu jelas: setan Kantian hanya memiliki rasionalitas strategis, sedangkan manusia selain memiliki rasionalitas strategis, juga memunyai moralitas dan religiositas. Namun, mengapa manusia terus bertengkar dan mengapa setan-setan bisa bersepakat? Karena setan-setan itu lebih pragmatis daripada manusia. Daripada bertengkar berlarut-larut soal agama, kebudayaan dan moralitas, dan mendirikan konstitusi atas dasar nilai-nilai kontroversial itu, adalah lebih menguntungkan survival mereka jika membangun konstitusi negara yang menerapkan ”mekanisme alamiah” ke dalam masyarakat mereka. Jadi, daripada memberi nasihat-nasihat moral atau khotbah-khotbah religius, adalah lebih baik menerapkan suatu sistem hukum dan manajerial pemerintahan yang memaksa mereka menghormati kebebasan orang lain, bukan karena alasan moral atau agama, melainkan karena alasan pragmatis, yakni demi kebebasannya sendiri. Asumsi Kant: struktur-struktur yang ”fair” yang menata hubungan para warga negara akan membantu mereka menghendaki perdamaian sebagai sesuatu yang rasional (strategis).


Politik dan moral

Asas kedua berbunyi begini: Pimpinlah negara tanpa memaksakan kebenaran salah satu agama atau moralitas rakyatmu sebagai alasan kekuasaanmu, melainkan setialah kepada konstitusi kebebasan itu. ”Bangsa setan-setan” memang tak bermoral, tetapi mereka punya alasan rasional untuk patuh pada konstitusi sebagai ”moral” mereka, yakni demi survival. Kita bedakan dua moral di sini: [1] moral partikular yang terkait dengan kelompok sosial dan [2] moral universal yang mendasari konstitusi. Karena kebutuhan survival itu universal, setan tak mengalami dualisme loyalitas. Sebaliknya, bangsa manusia-manusia mengalami dualisme antara setia pada agama atau konstitusi, pada moral partikular atau moral negara sehingga hubungan antara politik dan moral menjadi problematis dalam leadership negara manusia.


Pemimpin manusia bisa menyalahgunakan moral partikular untuk kepentingan kekuasaannya. Pemimpin Machiavellian semacam itu disebut Kant ”moralis politis”. Jika negara mau damai, pemimpin tidak hanya sekadar konsekuen dengan konstitusi kebebasan, melainkan juga terbuka untuk merevisi konstitusi itu agar makin sesuai dengan moral universal. Pemimpin yang berperan sebagai ”kritikus ideologi” ini disebut Kant politikus moral.


Untuk ”bangsa setan-setan” tentu hubungan antara moral dan politik bukanlah masalah karena mereka tak bermoral, dan bagi mereka politik adalah upaya menemukan ”mekanisme alam” dalam masyarakat dengan ”rasionalitas strategis”. Dengan kata lain, politik dimengerti seperti ekonomi pasar yang tunduk pada invisible hands ala Adam Smith. Namun, bangsa manusia-manusia akan cenderung melibatkan moralitas mereka dalam politik. Justru di sini letak bahayanya: sementara setan Kantian bersikap netral terhadap agama dan moral-moral partikular, pemimpin bangsa manusia lebih condong menjadi ”moralis politis” daripada ”politikus moralis”. Agama dan moralitas dipakai sebagai alat politis untuk menciptakan ”antinomi kawan dan lawan” (dalam pengertian C Schmitt). Ia akan memoralisasi dan meng-agama-kan segala aspek kehidupan rakyatnya, tapi dari agama dan moral sebagaimana ia pahami. Konsekuensi logisnya, tak ada moral lain selain politiknya sendiri sebab politik tak lain daripada realisasi ”jalan keselamatan” menurut sudut pandang penguasa. Kediktatoran dalam arti Kantian adalah pemaksaan moral atau agama salah satu kelompok masyarakat atas seluruh masyarakat.


Dalam pandangan Kant, setan-setan yang hanya memiliki akal itu akan lebih mampu menciptakan perdamaian daripada manusia-manusia saleh yang tidak menggunakan akal mereka. Maka itu, berfaedahlah belajar dari setan-setan Kantian itu. Negara tidak berwenang melakukan ”perbaikan moral manusia” karena kebijakan itu akan memecah belah sebuah masyarakat modern yang plural dalam kategori-kategori agama, moral, ataupun kebudayaan. Tugas negara adalah ”menemukan cara bagaimana mekanisme alamiah dapat diterapkan pada manusia sedemikian rupa sehingga antagonisme sikap-sikap keji mereka akan membuat mereka saling memaksa tunduk pada hukum yang memaksa dan dengan jalan itu menghasilkan sebuah keadaan damai untuk memberlakukan hukum”. Hukum itu sendiri harus menjamin kebebasan privat warga negara menganut pandangan moral dan religius yang berbeda-beda, tapi akan memberi sanksi pada mereka yang melanggar hak dan kebebasan privat orang atau kelompok lain.


Kepublikan

Asas ketiga dapat dirumuskan demikian: Periksalah terus kesesuaian konstitusi kebebasan itu dengan aspirasi publik di bawah tatapan mata publik. Dalam egoisme mereka, setan-setan Kantian itu berpikir bahwa jika mereka merugikan kebebasan pihak lain, misalnya dengan diam-diam merencanakan serangan, pihak lain itu akan membalas dengan cara dusta dan rahasia juga. Maka itu, demi kepentingan diri mereka, mereka akan bersikap transparan tentang kepentingan-kepentingan diri mereka. ”Kepublikan” berarti dapat diakses oleh publik. Mereka akan menyatakan kepentingan mereka lewat cara-cara yang terbuka terhadap kontrol publik. Kalau demikian, hukum dan konstitusi itu sendiri mencerminkan nalar publik sedemikian rupa sehingga setiap pasal konstitusi atau hukum mencerminkan aspirasi universal publik. ”Semua tindakan yang berhubungan dengan hak orang-orang lain yang maksimnya tidak sesuai dengan kepublikan,”demikian Kant, ”adalah tidak sah”. Jadi, suatu undang-undang yang mencerminkan kepentingan kelompok atau aliran tertentu dan tidak mencerminkan kepentingan publik tidaklah legitim.


Setan yang memikirkan kepublikan tampaknya akan kehilangan watak sataninya karena memikirkan orang lain. Padahal, ciri setan adalah menyembunyikan diri. Kesan itu keliru. Mereka tetap egois dan, dalam egoisme mereka, mereka memikirkan ciri egois pihak lain untuk melindungi diri mereka sendiri dari ancaman. Iktikad-iktikad mereka tetap jahat dan tak terduga, tapi ”perilaku publik” mereka akan sama ”seolah-olah mereka tidak memiliki sikap-sikap jahat itu”. Jadi, mereka tetap setan, tapi setan yang rasional- strategis! Jelas bahwa metafora ”bangsa setan-setan” ini dipakai oleh Kant untuk menjelaskan hubungan-hubungan sosio-politis bukan dalam kota kecil seperti Koenigsberg, melainkan dalam metropolis modern yang kompleks seperti Paris, New York, Jakarta di abad kita.


Universalisme keras dan lunak

Di sini kita harus membedakan dua macam universalisme. ”Universalisme lunak” tentang nilai-nilai moral dan religius tentu berbeda dari ”universalisme keras” hukum-hukum alam dan kalkulasi rasional-strategis sebagaimana tampak dalam ketiga asas Kantian di atas. Suatu universalisme kita sebut ”lunak” jika konsensus menyangkut nilai-nilai yang melibatkan hermeneutik makna dalam sebuah diskursus praktis moral. Suatu universalisme kita sebut ”keras” jika ia—seperti hukum gravitasi dan kalkulasi ekonomis— self-evidence. Negara yang didirikan atas dasar ”mekanisme alam” mungkin saja akan menyatukan semua individu yang berpikiran strategis dalam ”universalisme keras”, tapi negara macam itu hanyalah sebuah ”sistem” tindakan-tindakan rasional: bertujuan sebagaimana tampak dalam ”pasar” dan ”birokrasi”. Padahal, ”masyarakat” adalah sesuatu yang ”lebih” daripada ”sistem”. Masyarakat adalah suatu Lebenswelt (dunia-kehidupan) yang melibatkan penghayatan nilai-nilai moral, kultural, dan religius. Setan-setan Kantian hanya menghasilkan ”sistem” atau mekanisme obyektif yang mengatur semua individu tanpa pandang bulu. Negara macam itu mungkin memuaskan setan Kantian (yang lebih mirip robot daripada iblis) ini, tapi tak akan memuaskan manusia.


Untuk negara manusia, dibutuhkan juga ”universalisme lunak”. Manusia adalah makhluk moral dan religius, maka ia tak hanya memberi arti teknis-pragmatis pada benda-benda dan tindakannya, melainkan juga arti praktis-moral. The founding fathers dan para legislator hukum masyarakat majemuk harus bisa sepakat tidak hanya mengenai ”sistem” manajemen republik, melainkan juga ”dasar-dasar moral universal kemanusiaan” yang membangun solidaritas universal manusia dari berbagai agama, suku, ras, dan orientasi politis dalam negara itu.

”Universalisme keras” yang diandaikan oleh liberalisme Kant harus dilanjutkan dengan ”universalisme lunak”. Suatu konstitusi negara akan memuaskan manusia sebagai makhluk moral dan religius jika nilai-nilai moral dan agamanya juga diperhitungkan di dalam kehidupan publik. Namun, nilai-nilai itu harus diuji dulu lewat asas kepublikan, yakni apakah nilai-nilai itu, misalnya dari agama atau suku tertentu, dapat diterima oleh pihak-pihak lain secara universal dan tanpa paksaan.


Untuk itu, setiap kelompok dari tradisinya sendiri harus menggali dan menumbuhkan konsep ”hospitalitas” sebagaimana diulas Kant dalam bukunya. Hospitalitas berarti sikap menyambut yang lain dalam keberlainannya, sikap terbuka terhadap pluralisme nilai-nilai. Hospitalitas terkandung dalam setiap tradisi religius dan berkaitan dengan nilai-nilai universal hak-hak asasi manusia. ”Universalisme lunak” tak lain daripada interseksi nilai-nilai agama-agama yang berbeda-beda dalam horizon kemanusiaan dalam keberagamannya. Titik persilangan itu terdapat dalam visi dalam setiap agama yang menyambut pihak-pihak yang berbeda dari dirinya dalam semangat keterbukaan.


Ketiga asas yang kita rumuskan di atas 1. pragmatisme kepentingan alamiah; 2. kepemimpinan yang netral dari pandangan-pandangan religius dan moral; dan 3. kepublikan harus dilengkapi dengan asas ke-4 yang merupakan perluasan dari kepublikan, yaitu: Konstitusi negara harus memungkinkan saling-pemahaman antaragama dan memberi ruang untuk titik-titik temu nilai-nilai agama dan moral yang berbeda-beda karena saling pemahaman akan nilai-nilai universal bersama itu juga merupakan ”aspirasi publik” dalam masyarakat majemuk.

Dengan ”bangsa setan-setan” itu Kant ingin menarik perhatian kita bahwa sebuah konsensus minimal itu mungkin jika para individu dalam masyarakat majemuk berpikir rasional-strategis. Mekanisme bisnis dan pasar dan birokrasi konsisten yang beroperasi efisien memang akan membuat orang lupa akan perbedaan Weltanschauungen di antara mereka, tetapi tidak akan membuat mereka ”saling memahami” secara kultural. Lagi pula, negara terdiri tidak hanya atas pasar dan birokrasi, melainkan juga masyarakat dan kebudayaan. Karena itu, perdamaian di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat majemuk tidak dapat dicapai jika tidak memperhitungkan perdamaian di antara agama-agama mereka. Negara manusia akan damai jika birokrasi, pasar, dan saling pengertian antaragama berada dalam porsi kekuatan yang seimbang.


* Tulisan ini merupakan makalah peluncuran buku Kant Menuju Perdamaian Abadi di Goethe Haus, Jakarta, 27 Agustus 2005. Oleh: Dr F Budi Hardiman ("Bangsa Setan-setan" dan Universalisme Lunak Kant tentang Politik dalam Masyarakat Majemuk) Kepala Pusat Penelitian STF Driyarkara, Koordinator Simposium Kant, 17-18 Desember 2004 di Bentara Budaya Jakarta