see the world

see the world

31 Maret 2010

Perompak dan Pengendali Air

Menyusuri lajur tanggul yang panjang terasa tak berujung... hamparan air di semua tujuan menjadi terasa semakin jauh... pondok yang dituju terlihat kecil di tepian, seperti noktah yang berada di kehijaun hutan Nipah... berada di persimpangan tanggul membuat harus dapat mengira arah mana yang mengantar jarak terdekat... huuuh... terlihat sama saja... petak tambak tidak beraturan, ukurannya pun beraneka... di sebelah kanan 25 hektar, kiri 10 dan 5 hektar saling berimpit, di bagian depan berbentuk memanjang membuat harus memilih belok ke kiri atau kanan... kearah hutan Nipah sajalah, lebih teduh...

baru sebentar belok kanan ada yang teriak... hoooy... hoooy... teriakan berasal dari pondok lain di sebang tambak... gak tau apa maksudnya... yang terdengar cuma teriakan samar dari beberapa orang yang terlihat kecil di teras pondok... Penasaran berbalik sajalah... tak lama berjalan erlihat dari kejauhan ada beberapa orang, diantaranya seorang ibu dan dua orang anak kecil... tidak ada lagi keraguan dan hilang rasa ragu yang semula ada.

"kita tadi malam takut mas.." ungkap si ibu dengat logat sulawesi yang kental. memang para penjaga tambak berasal dari pulau sebrang selat makassar... mereka berasal dari Bulukumba, Pinrang, Sengkang, Pare-pare dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. "tidak biasa ada orang yang datang ke tambak.. biasanya perampok.." ungkap si bapak. "kalau di laut sudah sering, kadang mereka ke pondok..." sambil menunjuk ke arah pondok yang pernah menjadi korban. "tadi malam kita sekeluarga sudah siap-siap lari ke hutan Nipah... kita sudah hapal lokasi di sini..." si bapak menambahkan.

Sama sekali tidak menyangka... menggunakan headlamp yg ada night vision waktu keliling tambak mencari kepiting semalam jadi cerita yang berbeda bagi keluarga yang tinggal di pojok tambak jauh di sebelah Timur... empat orang berjalan berkeliling tanggul tengah malah dengan jenis senter yang asing bagi mereka membuat ketakutan tersendiri bagi keluarga ini. "kalau saja semalam belok kekiri di simpang tambak, kami sekeluarga sudah lari" ucap si ibu. "mereka sudah tidur... terus saya bangunkan...." timpal si bapak berkulit legam bertelanjang dada... waduh.. maaf telah membuat bapak sekeluarga takut... kami tidak sengaja...

Perampok pondok jaga di tambak atau perompak hasil tambak udang di laut atau sungai menjadi momok tersendiri bagi para pekerja tambak di sekitar wilayah Tarakan. Mereka menggunakan senjata dan speedboat sering menghadang speedboat yang membawa hasil panen tambak. Tidak hanya mengambil hasil atau apa aja yang ada di dalam speedboat, mereka juga merampas speedboat dengan memaksa penumpangnya terjun ke air dan meninggalkannya di tepian hutan Nipah. wajar kalau mereka begitu takut terhadap orang yang tidak dikenal. Perampokan dilakukan tidak hanya dimalam hari, tapi juga siang hari. Banyaknya percabangan sungai membuat para perompak leluasa melakukan tindakan kejahatannya.

Pada tahun 2009 saja sudah terjadi 45 kali kasus perampokan yang di laporkan ke pihak kepolisian. Namun baru 10 kasus yang berhasil diungkap. Pelaku tambak melakukan aksinya di wilayah Muara Bulungan, Mangkudulis, Tanjung Tiram, pulau Tias, dan perairan Tanah Karungan (Kaltim Polri.go.id)

Sudah banyak perompak yang tertangkap, bahkan diantaranya ditembak kakinya. Tapi kejadian ini masih saja terus berlangsung. "perompak itu mati satu tumbuh seribu" ucap seorang mahasiswa Universitas Borneo di Tarakan. Menurut Ali, salah satu penjaga tambak, meskipun sudah ditembak kakinya dan di penjara, perompak pemilik senjata api tetap dapat jatah dari perompak lain dengan meminjamkan senjatanya. "orangnya sudah tidak merampok mas, tapi senjatanya jalan terus" ungkapnya. "tidak ada gunanya kami melawan... dan untuk apa juga... karena kita ini cuma bekerja sama boss, bukan pemilik... tidak ada juga pengaruhnya buat kita..." ungkapnya dengan logat Sulawesi yang kental. Buat pekerja seperti Ali, pekerjaannya adalah menjaga tanggul jangan sampai bocor, panen, menjual hasil tambak., mengatur kualitas air tambak dengan memanfaatkan pasang surut air laut. Tentu dengan kemampuan membaca dinamika pasang surut air laut perhari pada setiap bulannya.

Kenapa mereka yang mendapatkan keuntungan paling rendah dan bekerja paling berat... selalu berhadapan dengan resiko yang paling tinggi... huuuh. Memang keadilan hanya ada di antara harapan dan angan-angan... Lady Justice Has Been Raped....


Ghonjess

22 Maret 2010

Alun alun: Jejak Sejarah Kekuasaan


Sejumlah abg berkumpul, berjoget, berjingkrak sekenanya. Menarik perhatian tidak hanya secara visual, alunan irama musik yang keluar dari seperangkat audio dengan volume besar memaksa mata untuk berpaling. Itu suasana di pojokan alun-alun Brebes. Sepeda motor yang kebanyakan sudah dimodifikasi ala free styler diparkir berjejer dekat trotoar yang mereka buat seolah menjadi panggung. ”Disini tempat trek-trekan sepeda motor kalau malem” ucap seorang anak muda ketika minum wedang ronde di angkringan pinggir alun-alun Demak. Di alun-alun Tuban sore itu anak-anak remaja asik bermain bola berlatar megahnya mesjid Agung Tuban, para pengemis hadir diantara para peziarah yang lewat depan Museum Kambang Putih menuju makam sunan Bonang yang terletak tepat di belakang mesjid. Bercampur riuh dengan para orang tua yang sedang menemani anak mereka yang sedang asik memilih aneka mainan yang dijual. Di Semarang, mall dan hotel modern telah menjadi bagian dari komplek alun-alun.

Jika kita menyusuri kota-kota di sepanjang pulau jawa, baik di pantai utara maupun selatan, alun-alun akan selalu menjadi penciri dari pusat-pusat kota yang dilewati. Alun-alun menjadi semacam tempat rekreasi berupa lapangan terbuka yang terdapat di tengah kota. Disekitarnya terdapat gedung pemerintahan, tempat ibadah, pusat pertokoan, museum, klenteng dan juga kadang penjara. Pertanyaan ”Ini pusat kotanya ya” kerab kita dengar dari mereka yang sedang plesir dan menyempatkan diri mampir kongkow disitu. Memang serasa belum sampai pusat kota jikalau belum sampai di alun-alun.

Alun-alun sudah ada sejak era pra kolonial. Bahkan ada yang meyakini sudah ada jauh sebelum era Majapahit. Pada waktu itu areal terbuka tersebut merupakan tempat yang sakral sebagai sarana upacara ritual dan do’a kepada para dewa. Pada era kejayaan kerajaan Jawa dijaman Majapahit hingga Mataram pada abad 13 hingga abad 18, alun-alun merupakan bagian dari kompleks keraton yang menjadi pusat kekuasaan, pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal raja. kompleks ini penuh dengan simbol yang menjadi miniatur dari makrokosmos. Areal keraton menjadi wilayah yang sakral penuh keteraturan baik tingkah laku manusia maupun tata letak bangunannya. Untuk itu pembatas berupa pagar-pun dibangun di sekeliling areal ini untuk memisahkan wilayah yang sakral dan homogen dengan wilayah di luar yang bersifat profan (Handinoto, 2009)

Ditengah alun alun biasanya terdapat dua pohon beringin yang dipagari, biasa disebut "waringin kurung" yang berasal dari suku kata "wri" yang berarti mengetahui dan melihat dan "ngin" yang berarti memikir tindakan atas masa depan yang keduanya menjadi simbol manusia yang arif dan bijaksana. Pohon beringin tersebut melambangkan langit yang berhubungan dengan permukaan tanah, bumi, yang dilambangkan dengan alun-alun yang berbentuk segi empat. Pagar di sekeliling pohon menjadi simbol tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi. Kesatuan simbol berupa pohon beringin, pagar dan alun-alun bermakna kesatuan dan harmoni manusia dengan universum yang menjadi tugas manusia untuk menjaganya (Pigeaud, 1940:180). selain itu, bangunan sekitar alun alun juga diatur sedemikian rupa sesuai fungsinya dengan mengikuti aturan sesuai dengan arah mata angin.

Sunan Kalijaga yang dipercaya hidup pada era pemerintahan Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang hingga awal pemerintahan Mataram juga mewarnai dan meninggalkan jejak pada kompleks alun-alun. Adanya Mesjid di bagian Barat merupakan salah satunya. Dijaman kolonial konsep kraton alun-alun ini ditiru oleh pemerintah kolonial untuk dapat berkuasa. Mereka mengangkat para bupati sebagai perpanjangan kekuasaan atau sebagai " inderect rule" dengan memberi sarana pendopo kabupaten, alun-alun dan juga penjara sebagai bagian dari alat kekuasaan. Hal ini yang membuat banyak pusat kota di kota-kota yang ada di pulau jawa selalu ada alun-alun. Menjadi metode pemerintahan kolonial dalam mengontrol penduduk yang begitu banyak dengan menggunakan pengetahuannya tentang budaya. Mereka mempelajari sejarah dan model kekuasaan yang ada yang kemudian digunakan menjadi praktek kekuasaan yang efektif. Alun-alun sebagai simbol yang sarat nilai budaya dan sakral direduksi menjadi lebih bersifat public space, menjadi city square untuk dapat mempertahankan kekuasaan secara simbolik selama ratusan tahun.

Memang alun-alun menjadi saksi dan menyimpan banyak kisah. Tidak berlebihan kalau ada yang bilang alun-alun adalah jendela-nya pulau Jawa. Karena ia selalu menjadi simbol dan saksi berlangsungnya kekuasaan dari jaman ke jaman dari berbagai peradaban. Ia menyimpan dimensi sejarah kekuasaan yang pernah singgah. Menjadi sumber ilmu tentang evolusi tata nilai, kekuasaan, budaya, perekonomian yang panjang dalam sejarah. Itu berlangsung hingga kini. Alun-alun menjadi pusat modernisasi... menjadi simbol globalisasi.... Menjejalkan aneka warna produk, transaksi seks, gaya hidup dan semua yang dianggap modern.... Kini alun-alun tidak sakral lagi... menjadi aula kesedihan bagi budaya bangsa. Buah dari dosa peradaban.


ref.
Handinoto, 2009. Alun-alun sebagai identitas kota Jawa, Dulu dan Sekarang
Pigeaud, Th. G. 1940. De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa.