see the world

see the world

22 Maret 2010

Alun alun: Jejak Sejarah Kekuasaan


Sejumlah abg berkumpul, berjoget, berjingkrak sekenanya. Menarik perhatian tidak hanya secara visual, alunan irama musik yang keluar dari seperangkat audio dengan volume besar memaksa mata untuk berpaling. Itu suasana di pojokan alun-alun Brebes. Sepeda motor yang kebanyakan sudah dimodifikasi ala free styler diparkir berjejer dekat trotoar yang mereka buat seolah menjadi panggung. ”Disini tempat trek-trekan sepeda motor kalau malem” ucap seorang anak muda ketika minum wedang ronde di angkringan pinggir alun-alun Demak. Di alun-alun Tuban sore itu anak-anak remaja asik bermain bola berlatar megahnya mesjid Agung Tuban, para pengemis hadir diantara para peziarah yang lewat depan Museum Kambang Putih menuju makam sunan Bonang yang terletak tepat di belakang mesjid. Bercampur riuh dengan para orang tua yang sedang menemani anak mereka yang sedang asik memilih aneka mainan yang dijual. Di Semarang, mall dan hotel modern telah menjadi bagian dari komplek alun-alun.

Jika kita menyusuri kota-kota di sepanjang pulau jawa, baik di pantai utara maupun selatan, alun-alun akan selalu menjadi penciri dari pusat-pusat kota yang dilewati. Alun-alun menjadi semacam tempat rekreasi berupa lapangan terbuka yang terdapat di tengah kota. Disekitarnya terdapat gedung pemerintahan, tempat ibadah, pusat pertokoan, museum, klenteng dan juga kadang penjara. Pertanyaan ”Ini pusat kotanya ya” kerab kita dengar dari mereka yang sedang plesir dan menyempatkan diri mampir kongkow disitu. Memang serasa belum sampai pusat kota jikalau belum sampai di alun-alun.

Alun-alun sudah ada sejak era pra kolonial. Bahkan ada yang meyakini sudah ada jauh sebelum era Majapahit. Pada waktu itu areal terbuka tersebut merupakan tempat yang sakral sebagai sarana upacara ritual dan do’a kepada para dewa. Pada era kejayaan kerajaan Jawa dijaman Majapahit hingga Mataram pada abad 13 hingga abad 18, alun-alun merupakan bagian dari kompleks keraton yang menjadi pusat kekuasaan, pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal raja. kompleks ini penuh dengan simbol yang menjadi miniatur dari makrokosmos. Areal keraton menjadi wilayah yang sakral penuh keteraturan baik tingkah laku manusia maupun tata letak bangunannya. Untuk itu pembatas berupa pagar-pun dibangun di sekeliling areal ini untuk memisahkan wilayah yang sakral dan homogen dengan wilayah di luar yang bersifat profan (Handinoto, 2009)

Ditengah alun alun biasanya terdapat dua pohon beringin yang dipagari, biasa disebut "waringin kurung" yang berasal dari suku kata "wri" yang berarti mengetahui dan melihat dan "ngin" yang berarti memikir tindakan atas masa depan yang keduanya menjadi simbol manusia yang arif dan bijaksana. Pohon beringin tersebut melambangkan langit yang berhubungan dengan permukaan tanah, bumi, yang dilambangkan dengan alun-alun yang berbentuk segi empat. Pagar di sekeliling pohon menjadi simbol tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi. Kesatuan simbol berupa pohon beringin, pagar dan alun-alun bermakna kesatuan dan harmoni manusia dengan universum yang menjadi tugas manusia untuk menjaganya (Pigeaud, 1940:180). selain itu, bangunan sekitar alun alun juga diatur sedemikian rupa sesuai fungsinya dengan mengikuti aturan sesuai dengan arah mata angin.

Sunan Kalijaga yang dipercaya hidup pada era pemerintahan Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang hingga awal pemerintahan Mataram juga mewarnai dan meninggalkan jejak pada kompleks alun-alun. Adanya Mesjid di bagian Barat merupakan salah satunya. Dijaman kolonial konsep kraton alun-alun ini ditiru oleh pemerintah kolonial untuk dapat berkuasa. Mereka mengangkat para bupati sebagai perpanjangan kekuasaan atau sebagai " inderect rule" dengan memberi sarana pendopo kabupaten, alun-alun dan juga penjara sebagai bagian dari alat kekuasaan. Hal ini yang membuat banyak pusat kota di kota-kota yang ada di pulau jawa selalu ada alun-alun. Menjadi metode pemerintahan kolonial dalam mengontrol penduduk yang begitu banyak dengan menggunakan pengetahuannya tentang budaya. Mereka mempelajari sejarah dan model kekuasaan yang ada yang kemudian digunakan menjadi praktek kekuasaan yang efektif. Alun-alun sebagai simbol yang sarat nilai budaya dan sakral direduksi menjadi lebih bersifat public space, menjadi city square untuk dapat mempertahankan kekuasaan secara simbolik selama ratusan tahun.

Memang alun-alun menjadi saksi dan menyimpan banyak kisah. Tidak berlebihan kalau ada yang bilang alun-alun adalah jendela-nya pulau Jawa. Karena ia selalu menjadi simbol dan saksi berlangsungnya kekuasaan dari jaman ke jaman dari berbagai peradaban. Ia menyimpan dimensi sejarah kekuasaan yang pernah singgah. Menjadi sumber ilmu tentang evolusi tata nilai, kekuasaan, budaya, perekonomian yang panjang dalam sejarah. Itu berlangsung hingga kini. Alun-alun menjadi pusat modernisasi... menjadi simbol globalisasi.... Menjejalkan aneka warna produk, transaksi seks, gaya hidup dan semua yang dianggap modern.... Kini alun-alun tidak sakral lagi... menjadi aula kesedihan bagi budaya bangsa. Buah dari dosa peradaban.


ref.
Handinoto, 2009. Alun-alun sebagai identitas kota Jawa, Dulu dan Sekarang
Pigeaud, Th. G. 1940. De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar