see the world

see the world

10 Agustus 2010

Menanam Dengan Cara Bersahaja


Sampeyan sampai dimana?” kata seseorang diujung telepon. “sebelum jembatan belok kekanan ” terdengar lagi suara dengan aksen Madura yang kental. Ia arahkan agar bisa sampai ke rumahnya di desa Peleyan, Panarukan, Jawa Timur. Tak lama berselang setelah tiba.. “Siapa pak?” tanya-ku ulang untuk meyakinkan setelah mendengar namanya.. “Pak Gina” ucapnya ketika berjabat tangan sambil mengucapkan kata ‘pak’ dan ‘Gina’ tanpa jeda. Di bagian kiri halaman tampak kantung-kantung polybag berisi bibit mangrove dan cemara udang . Istri beliau sedari tadi tampak memperhatikan kami yang ada di depan. Ia menampakan diri sembari memegang tiang pintu rumah. Dengan hanya sebagian badan yang terlihat. Rumahnya biasa saja sebagaimana umumnya rumah di desa Jawa. Hanya terasa ada nuansa keindahan dari kesederhanaan yang ada.

Letaknya tidak jauh, hanya beberapa menit setelah meninggalkan batas desa. Tidak seperti yang terbayang sebelumnya. Ternyata pohon mangrove-nya sudah setinggi belasan meter.. jumlahnya ribuan.. batang bertekstur kasar sebesar betis hingga paha orang dewasa.. ranting dan cabang saling menyilang ke kiri dan kanan.. rindang dan rimbun oleh daun lebat membentuk kanopi menghalangi sinar matahari.. buah panjang runcing bergelantungan di ujung ranting.. siap menghujam tanah berlumpur dibawahnya... menanti saatnya tiba untuk menjadi bibit baru. Tambah asri dengan riuh suara kicau burung yang bersahutan sore itu.

Dulu air ombak sampai ke pinggir desa kenangnya. Warga kerja bakti membuat guludan menahan pinggir pantai untuk ditanami. Membentuk tanggul hidup untuk menahan abrasi yang kian mengancam daratan tempat tinggal bersama. “airnya banter mas, harus ditahan” begitu alasan atas apa yang dilakukan. Ternyata tidak cuma sampai disitu. Hingga kini beliau terus menanam hingga keluar kecamatan. Coba mengabaikan pendapat orang lain yang tidak percaya atas pengabdian yang dilakukan. “saya dikira ada yang mbayar” keluhnya. Maklumlah ia hanya bekerja sebagai ’waker’ penjaga keamanan tambak intensif yang ada di samping desa. “sekarang pantai jadi agak jauh” ungkapnya puas atas hasil kerja keras selama ini. Apa yang telah dilakukan menjadi contoh bagi desa tetangga bahkan hingga ke kecamatan lain. Ia terus menanami setiap lahan tidur yang ada di pinggir pantai. “saya dapat tiga petak untuk ditanami, sudah dapat ijin dari yang punya” ucapnya penuh semangat setelah memperoleh lahan baru buat ditanami. Di petak tambak udang yang sudah tidak produktif lagi akibat terserang virus white spot. Tentu saja gembira mendapat lokasi untuk ditanami. Karena saat ini tempat telah menjadi komoditi.

Lelah menyusuri luasnya lahan yang sudah menjadi hutan mangrove. “Umurnya sudah 20 tahun lebih mas” ucapnya sambil berjalan cepat menenteng beberapa polybag berisi bibit yang siap ditanam. “Saya mulai menanam ketika-pas tiga bulan menjadi ketua RT” jelasnya. “Waktu bupatinya masih pak Margono” jawabnya ketika kutanya kapan mulai menanam . Entah tahun berapa... tapi mungkin kira- kira tahun 80-an. Sudah puluhan tahun rupanya. Wajar kalau kini tampak akar dan batang pohon mangrove menguasai areal ini. Berdiri, berjejer, berhimpun, bertautan secara bebas.

Ojo gumunan” meminjam petuah sunan Bonang... Tentu beda dengan kegiatan seremoni-elitis yang hanya bersifat simbolik semata. Karena memang sejatinya penanam pohon adalah masyarakat itu sendiri. Para petani, nelayan dan masyarakat adat yang tinggal di desa-desa atau di pinggiran kota besar. Mereka memiliki tujuan atas apa yang dilakukan sebagai bagian langsung dari hidup keseharian. Memiliki kemampuan cara menanam, memelihara, menjaga dan memanfaatkan dengan sistem nilai yang mereka miliki. Hanya tersandra diantara kesempatan dan kesempitan akan lahan. Hingga sering terdengar ungkapan lirih atas himpitan ekonomi di sela pepohonan yang mereka tanam. Lalu kenapa mereka sering didakwa belum sadar?..

Bukankah ini sebuah kegiatan yang berhasil.. Bukankah ini sebuah kegiatan besar.. atas imajinasi dan inisiatif sendiri.. Meski tanpa plang, baliho, spanduk yang bertuliskan slogan-slogan ‘wah’.. Alat yang sering digunakan para elit untuk mengemas kegiatan dan aksi-aksi yang sebenarnya kecil. Bukan pula latah ikut-ikutan menanam dalam kegiatan seremoni yang ngetren setelah acara UNFCC[1] di Bali beberapa tahun lalu. Tanpa harus mengundang wartawan pada setiap proses penanaman agar dianggap green dan enviromental friendly. Tidak cuma teriak soal deforestasi atau ceramah bak ahli klimatologi.. tanpa nuansa kepentingan politik kekuasaan yang penuh sengketa dan antagonisme.. apalagi untuk menjadikan pentas agar terpuaskan dahaga akan popularitas.. menanam pohon semata sebagai kegiatan yang bersahaja. Lalu siapa yang belum sadar.. huhh. (GJ/Agst/10)


[1] (United Nations Framework Convention on Climate Change)

23 Juni 2010

Tiga Jari Pengemis



Langsung saja mengangguk ketika ku tawarkan untuk minum kopi. Begitu pesanan datang segera ia tuang ke tatakan cangkir dan, ....srupuuut... aah... kiranya menunggu kopi dingin saat cuaca panas di pinggir jalan pantai utara Tuban membuatnya menjadi tidak sabar. Setelah sedikit malu-malu sembari menyruput kopi perbincangan-pun menjadi lebih ’lepas’. Tambah asik tat kala strategi akting muka memelas standar pengemis secara perlahan mulai ia tanggalkan. Untuk itu sementara si bapak melepas profesionalismenya sebagai seorang pengemis dan kian menjadi dirinya. Percakapan menjadi lebih nyaman ketika sudah bisa tertawa bersama.... dan selanjutnya seperti laiknya orang yang lebih tua, si bapak mulai bercerita, memberi nasihat, berbagi kiat dalam menjalani hidup yang salah satunya bagaimana ia mengelola keuangan keluarga. 

Di Tuban Ia tinggal bersama istri di rumah yang telah mereka kontrak dengan harga 3.200.000 rupiah per dua tahun. ”ya beda mas, gak selalu gitu” protesnya ketika ku bilang berarti 1.6 juta rupiah per tahun. Di rumah kontrakan tersebut kadang ia menerima kunjungan anak jika kebetulan sedang ada keperluan ke kota. Jika mereka datang ia tak lupa memberi uang sekedar untuk sangu kembali ke desa. ”yaa harus disangoni mas... paling tidak 50 000” ucapnya dengan nada penuh tanggung jawab. “kadang sedulur saja saya kasih, apa lagi anak sendiri” sambunganya. 

Pak Wardoyo, begitu ia perkenalkan namanya, ia memang jarang bertemu dengan sanak keluarganya. Karena pulang kampung ke Bojonegoro hanya pada saat lebaran saja. Pada saat itu baru Ia dapat berkumpul dengan empat orang anak dan kelima cucunya. “sekarang cucu saya yang paling kecil sudah belajar bahasa Inggris” ucapnya bangga. Dari semua tuntutan kebutuhan hidup, Ia harus dapat mengatur sedemikian rupa uang kurang lebih 30.000 rupiah dari hasil mengemis setiap harinya.. ”yaa ngerekennya kudu pinter” ucapnya sambil menyingkirkan cangkir kopi yang ada di bangku...

Sambil memiringkan badan ia letakan telapak tangan di atas bangku papan diantara kami duduk. Tiga jari digunakan sebagai alat untuk menjelaskan kiat mengelelola uang hasil ”kerja akting” yang sudah lama Ia tekuni. Ia membagi uang menjadi tiga bagian, jari manis sebagai simbol tabungan. Setiap hari harus di simpan uang ”minimal” 10.000 rupiah yang hanya digunakan untuk bayar kontrakan dan pulang lebaran. ”jari manis gak boleh di utak atik mas” ucapnya dengan nada disiplin.. Jari telunjuk untuk kebutuhan makan sehari-hari yang tak lebih dari 10.000 rupiah, dan jari tengah untuk kebutuhan lainnya seperti obat-obatan, ngasih sangu anak kalau datang berkunjung dan memberi santunan anak yatim kalau ’lagi ada’. ”jadi kudu pinter ngreken dan disiplin” ucapnya setelah rampung menjelaskan filosofi tiga jarinya. Ia turunkan topi hingga menutupi bagian atas wajahnya. Melanjutkan menyusuri jalan kaki sambil melirik deretan puluhan sepeda motor baru yang tersusun rapi di rak trailer yang berjalan perlahan menuju ke arah Timur.. (GJ,19 Juni 2010)



28 Mei 2010

Petani Pohpohan di Gunung Salak



Pernah makan lalap daun Pohpohan? Di Bogor tentu tidak sulit untuk mendapatkan lalapan jenis ini. Banyak warung nasi yang menyediakan pohpohan sebagai salah satu menu yang dihidangkan di atas meja. Kala lewat tengah malam pernahkah sesekali main ke pasar Bogor? Diantara begitu banyak jenis sayuran yang ada akan terlihat pohpohan yang diikat rapi menjadi ikatan-ikatan kecil. Ada yang dibawa dengan becak atau yang sudah siap beredar diatas gerobak penjual sayur keliling. Atau yang masih berupa ikatan-ikatan besar yang baru tiba dari desa. Biasanya pick-up atau angkot menjadi alat transportasi yang digunakan. Dari mana datangnya?

Coba deh main ke kampung Calobak, salah satu kampung di bagian Utara kaki Gunung Salak. Daerah ini tidak terlalu jauh dari pusat kota Bogor, lewat jalan ke arah Ciapus kemudian kita akan sampai di desa Tamansari. Melalui belokan SMA Tamansari kearah atas kita akan sampai di kampung Calobak. Di kampung ini terdapat kelompok tani Pohpohan yang di ketuai oleh Pak Wardi. Mereka melakukan praktek sistem pertanian organik. Pupuk kandang menjadi pilihan para petani sebagai sumber unsur hara bagi tanaman pohpohan yang mereka tanam. Jika kita masuk ke areal garapan mereka akan terasa teduh. Tidak seperti lahan pertanian yang pada umumnya terbuka bermandikan sinar matahari. Karena tanaman herba yang biasa dijadikan lalapan ini gampang hidup jika tidak terkena sinar matahari secara langsung, ternaungi oleh pohon-pohon yang tinggi.

Disini pada awalnya Pohpohan tumbuh liar di hutan dan di sekitar kebun pekarangan rumah penduduk. Baru pada tahun 1991 mereka mulai mencoba memeliharanya secara tumpang sari di kaki gunung di atas kampung mereka. Dengan adanya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dikembangkan oleh Perum Perhutani Unit III, mereka kemudian membentuk kelompok Tani Hutan (KTH) Mekarsari. Kelompok tani tersebut mengelola lahan di bawah tegakan damar (Agathis damara), pinus (Pinus merkusii) dan afrika (Meiopsis manii) di kawasan yang waktu itu masuk dalam wilayah kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor. “kami bersama warga kampung naik keatas, mengadakan upacara adat di pinggir sungai Ciapus” ucap pak Wardi menceritakan awal pembentukan kelompok.

Setiap habis panen, mereka menjual hasil panen kepada para tengkulak yang ada di kampung. Kepada mereka para petani percaya untuk dapat menampung (membeli) ikatan demi ikatan pohpohan yang mereka pikul. Menurut para petani, dahulu sempat ada koperasi yang coba menampung pohpohan dari para petani di sini. Tetapi koperasi tersebut tidak bertahan lama karena tidak mampu menjual hasil panen mereka. ”mereka kewalahan untuk memasarkan” ucap seorang petani. Oleh karena itu koperasi ini hanya mampu bertahan beberapa bulan. Untuk itu peran dalam hal pemasaran mereka percayakan kepada para tengkulak. Mereka menampung dan menjual hasil panen para petani melalui relasi mereka yang ada di pasar. Ada sekitar 10 tengkulak yang sering menampung dan sebagian besar adalah warga kampung sendiri. Setiap tengkulak biasanya mampu menampung hasil panen dari 5-10 orang petani. Meskipun demikian tidak ada ikatan khusus antara petani dengan tengkulak. Mereka bebas menjual kemana saja hasil panen mereka. Kadang seorang petani menjual hasil panennya ke-lebih dari satu orang tengkulak. Namun biasanya mereka sudah punya langganan tetap yang sudah mereka percaya.

Pohpohan telah menjadi bagian dari kehidupan warga kampung Calobak dan sekitarnya. Menjadi komoditi yang diandalkan oleh warga kampung untuk menjadi sumber penghidupan dijaman yang kian susah. Ada sekitar 80-an keluarga yang hidup kesehariannya mengharapkan hasil dari bertani pohpohan. Maka ketika tahun 2003 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang merubah fungsi kawasan tersebut dari fungsi produksi menjadi fungsi konservasi, sempat membuat mereka merasa resah. Tentu saja... mereka yang telah menjadi bagian dari program PHBM-nya pemerintah tersebut dihadapkan pada situasi transisi... tanpa kepastian. Hak akses mereka ke lahan garapan terancam. ”asal gak nebang pohon, gak pa pa kok pak” kata pak Wardi si bapak ketua kelompok tani
.
Mudah-mudahan mereka terus dapat melanjutkan aktifitas mereka sebagai petani. penetapan zona khusus oleh taman nasional bisa menjadi ruang bagi mereka. Apalagi peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/2006 tentang Zonasi Taman Nasional memungkinkan mengakomodir keterlanjuran kebijakan pemerintah akibat alih fungsi hutan produksi/lindung. Sehingga hak akses berupa pinjam pakai kawasan termasuk PHBM yang dulu diberikan masih dapat dilanjutkan. Huuh.. jangan terjebak dalam kekakuan wacana hukum positif yang merupakan produk politik. Bagaimanapun juga petani pohpohan adalah warga negara yang sah sehingga memiliki hak dasar agar tetap dapat mengakses sumber penghidupan mereka.

25 Mei 2010

Peuseujuk sebagai Simbol


Sepanjang kegiatan manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang sering-kali merupakan perwujudan lain dari apa yang ingin diwujudkan, begitu kata Dilthey. Dunia manusia memang dunia simbol yang sarat dengan makna.

Di tambak... jalinan janur yang dianyam sedemikian rupa digantung di pintu air. Dalam anyaman tersebut terdapat bungkusan kain putih dan botol kecil berisi minyak wangi. ”itu namanya peuseujuk” ucap salah satu pemilik tambak. Ini dilakukan setiap menjelang panen, ayam hitam dan ayam putih dipotong di pintu air. Tulang dan bagian-bagian tertentu kemudian dibungkus dan diletakan dalam anyaman tersebut bersama benda-benda lain yang memiliki makna tertentu. Acara dilakukan beramai-ramai dimana do’a dan makan bersama dilakukan sebagai bagian dari prosesi. Apapun... itu adalah fenomena sosial dimana simbol-simbol tertentu digunakan dengan makna tertentu pula.

Simbol ada dimana-mana, sering juga digunakan sebagai alat komunikasi manusia. Diwujudkan melalui lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang dan banyak lagi lainnya, dimana bahasa menjadi bentuk primer dari simbolisasi tersebut. Realitas sosial melalui simbol kadang terlihat samar namun sering juga telihat dalam bentuk yang lebih nyata. Pada kasus tersebut simbol warna hitam dan putih sering digunakan untuk menyatakan adanya persepsi oposisi biner...hitam-putih...jahat-baik....benar-salah.... yang sering digunakan untuk mempermudah pemahaman akan pesan moral yang ingin disampaikan, baik melalui cerita, legenda, juga dalam ritual tertentu.

Durkheim memandang makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat. Hal tersebut mengilhami pandangan bahwa ritual dapat dilihat sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) pada masyarakat Ndembu di Afrika. Menurutnya simbol-simbol dalam bentuk ritual berfungsi sebagai jembatan penghantar satuan-satuan kenyataan yang berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini didasari oleh pemikiran adanya sifat universal dari motif-motif dan dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia. jadi maksudnya meskipun tiap individu.. tiap orang . itu unik.. khas... tetap aja ada sifat yang sama... yang bersifat universal...

Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian sebagai media untuk mengurangi permusuhan diantara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan, menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat, sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang ada dan sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh setiap individu dengan demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara. Jadi Turner melihat ritual sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial. Mungkin begitu juga dengan peuseujuk yang dilakukan di pintu air tambak... hanya menjadi menarik karena tambak tersebut berada di Atjeh... mengingat fenomena seperti itu sudah ada dari sejak masa pra-Islam... apakah peusejuk merupakan sinkritisme, hasil dari sinkritisasi sebagai bagian dari proses akulturasi yang terjadi di Atjeh?..



Ghonjess



ref: Turner, Victor. 1974. The Forest of Symbols. Ithaca: Cornell University Press.

20 Mei 2010

Naseb Bungong Seulanga

Secara sepintas tidak ada yang istimewa dengan tempat ini. Petak-petak air yang luas dibelah oleh sungai kecil dengan pohon bakau dan nipah di tepiannya. Ketika air pasang air menjadi lebih dalam dan begitu juga sebaliknya ketika surut sungai menjadi lebih dangkal sepinggang orang dewasa. Hanya sekitar 2 km dari pantai membuat pasang surut sangat mempengaruhi debit air sungai ini. Menjelang siang hari ketika air dangkal terlihat banyak aktifitas dari orang-orang sekitar yang membuat suasana riuh penuh canda dan tawa. Dengan berbekal karung dan golok para perempuan terlihat memungut tiram (setidaknya begitulah mereka menyebutnya) di sungai. Sesekali mereka menyelam ke dasar sungai yang tidak terlalu dalam. Menjelang sore ketika air kian pasang mereka pulang berjalan beriring dengan "menyunggi" karung berisi tiram dengan menggunakan kain sarung yang diikat sedemikian rupa di kepala sebagai alas. Sementara terlihat beberapa laki-laki sedang menjala ikan di bagian tengah sungai dan terus bergerak kearah hilir. Meskipun sungai tersebut kecil dan tidak terlalu dalam namun dapat dilalui perahu bermotor berkapasitas kecil yang sesekali menghempaskan ombak ke tepian tanggul sungai...Huhh... rupanya tidak sesederhana kelihatannya.


dulu dikegelapan malam dari sungai ini sering mendarat perahu-perahu kecil dengan karung-karung yang berisi berbagai jenis senjata” ucap seorang lelaki separuh baya yang sudah lama tinggal di salah satu pondok. “ada jalur internasional melalui Kamboja, India, Afghanistan, Thailand, Philipina dan Malaysia yang diseberangkan ke daerah Peureulak dan Jambo Aye” ucapnya dengan penuh spekulasi tentang perdagangan senjata illegal. Mengingatkanku akan Victor Bout, man who makes war possible, yang tertangkap di Thailand dimana kisahnya difilmkan dalam Lord of War yang dibintangi Nicolas Cage, ditulis jadi buku Merchant of Death –nya Douglas Farah dan Stephen Braun. Kok nyambung dengan dengan cerita antusias si abang tentang kontak senjata yang sering terjadi di tempat tersebut. ... tentu saja... pada situasi konflik senjata, tempat ini menjadi penting untuk diperebutkan melalui pertempuran sengit jika memang benar apa yang dia ceritakan tadi. Pengepungan, mayat di pondok, di lumpur, diantara pohon nipah, tempat si anu tertembak kepalanya, tempat si itu tertangkap, tempat dia meloloskan diri, AK-47, M16, SS-1, GLM, FN, roket, granat, mortir, penculikan, sweeping, bakar, siksa dsb.. dsb... damn.. aku berharap dia bohong... celakanya aku pernah membaca banyak berita tentang kontak senjata yang terjadi di Pidie... di tempat ini ketika masa konflik... bener juga Romo Mangun.... logika perang modern memang tidak mengenal perasaan dan alasan-alasan budaya.... tidak seperti jaman dahulu kala... ketika perang masih bersifat seni perang.


Tiang-tiang kayu dengan tinggi sekitar 1 meter terlihat masih kokoh menopang pondok berbentuk panggung berukuran sekitar 3x4 meter. Berdiri di pinggir pepohonan bakau menghadap ke arah hamparan air membuatnya terlihat bersahaja sebagai bangunan yang lebih tinggi. Apalagi ketika matahari sore memantul dari permukaan air berwarna merah keemasan memberi efek silhouette yang mempertegas bentuk orang yang lagi sholat magrib di bagian teras. Pondok tersebut bagian depan memang sengaja dibuat terbuka dengan dinding rendah sehingga membentuk teras disetengah bagian depannya, menjadi shelter yang nyaman di tempat yang begitu panas dan bisa memandang ke berbagai arah. Keberadaan sumber air tawar berupa pancuran air yang terus mengalir dari sumur bor bak oase ditempat yang dikelilingi luapan air asin. . ”Disini mas tempat mereka sering tidur, kadang cuma beberapa orang, tetapi kadang hingga 40-an orang dengan senjata lengkap” ucapnya sambil menunjuk pondok... ditempatnya sedang duduk. “seragamnya sama, cuma bendera diseragam yang membedakan” timpalnya lagi.


Nuansa keharmonisan yang tertangkap indah oleh mata saat pergantian dari siang ke malam seolah ingin menutupi kisah-kisah mencekam tentang keberadaan pondok tersebut pada saat konflik. Sulit untuk membayangkan bahwa tempat ini menjadi salah satu zona perebutan dimana pelor dihamburkan dari moncong senapan yang sebagian darinya menembus kulit dan daging merenggut nyawa siapa saja pemilik tubuh. “sejujurnya saya sudah malas cerita tentang masa konflik” ucap seorang guru. Meskipun dia terus bercerita hingga larut malam kalau tidak mau disebut curhat. ”waktu itu kami terjepit dan serba salah” ucapnya. Kadang karena memberi sebatang rokok badan bisa tersiksa hingga nyawa melayang. Ya begitulah, kaum bersenjata dari pihak manapun selalu membawa situasi yang memilukan bagi masyarakat bawah.


Sejarah konflik begitu mewarnai kawasan ini, kisah pertempuran, ketakutan, kecemasan, heroik, serba salah, terjepit dalam situasi yang tidak menguntungkan sudah terjadi dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Mereka selalu dalam posisi caught in between dalam sejarah panjang pertempuran dan pergolakan dimana kedamaian menjadi damba. Seperti masa 30 tahun (1606-1636) pada era Sultan Iskandar Muda ketika Kerajaan Aceh Darussalam setenar dengan kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Agra dan Persia.


Wahe bungong ceudah hana ban
Tamse nyak dara nyang canden rupa
Diteuka bana dijak peuayang
uroe ngon malam bungong didoda

.......

Keubit that sayang naseb Seulanga...


Setelah tsunami dan perjanjian Helsinki akankah masyarakat Aceh mendapat kesempatan bernafas lebih panjang untuk bangkit dan berkembang terbebas dari rasa cemas. Hingga dapat menikmati asa dan harapan. Mengingat berita akhir-akhir ini tentang kekerasan dan senjata yang kembali hadir di kawasan ini.


Ghonjess


photo by Ghonjess

Lirik dari : http://tobei.blog.friendster.com/2007/03/lirik-seulanga-rafli/



31 Maret 2010

Perompak dan Pengendali Air

Menyusuri lajur tanggul yang panjang terasa tak berujung... hamparan air di semua tujuan menjadi terasa semakin jauh... pondok yang dituju terlihat kecil di tepian, seperti noktah yang berada di kehijaun hutan Nipah... berada di persimpangan tanggul membuat harus dapat mengira arah mana yang mengantar jarak terdekat... huuuh... terlihat sama saja... petak tambak tidak beraturan, ukurannya pun beraneka... di sebelah kanan 25 hektar, kiri 10 dan 5 hektar saling berimpit, di bagian depan berbentuk memanjang membuat harus memilih belok ke kiri atau kanan... kearah hutan Nipah sajalah, lebih teduh...

baru sebentar belok kanan ada yang teriak... hoooy... hoooy... teriakan berasal dari pondok lain di sebang tambak... gak tau apa maksudnya... yang terdengar cuma teriakan samar dari beberapa orang yang terlihat kecil di teras pondok... Penasaran berbalik sajalah... tak lama berjalan erlihat dari kejauhan ada beberapa orang, diantaranya seorang ibu dan dua orang anak kecil... tidak ada lagi keraguan dan hilang rasa ragu yang semula ada.

"kita tadi malam takut mas.." ungkap si ibu dengat logat sulawesi yang kental. memang para penjaga tambak berasal dari pulau sebrang selat makassar... mereka berasal dari Bulukumba, Pinrang, Sengkang, Pare-pare dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. "tidak biasa ada orang yang datang ke tambak.. biasanya perampok.." ungkap si bapak. "kalau di laut sudah sering, kadang mereka ke pondok..." sambil menunjuk ke arah pondok yang pernah menjadi korban. "tadi malam kita sekeluarga sudah siap-siap lari ke hutan Nipah... kita sudah hapal lokasi di sini..." si bapak menambahkan.

Sama sekali tidak menyangka... menggunakan headlamp yg ada night vision waktu keliling tambak mencari kepiting semalam jadi cerita yang berbeda bagi keluarga yang tinggal di pojok tambak jauh di sebelah Timur... empat orang berjalan berkeliling tanggul tengah malah dengan jenis senter yang asing bagi mereka membuat ketakutan tersendiri bagi keluarga ini. "kalau saja semalam belok kekiri di simpang tambak, kami sekeluarga sudah lari" ucap si ibu. "mereka sudah tidur... terus saya bangunkan...." timpal si bapak berkulit legam bertelanjang dada... waduh.. maaf telah membuat bapak sekeluarga takut... kami tidak sengaja...

Perampok pondok jaga di tambak atau perompak hasil tambak udang di laut atau sungai menjadi momok tersendiri bagi para pekerja tambak di sekitar wilayah Tarakan. Mereka menggunakan senjata dan speedboat sering menghadang speedboat yang membawa hasil panen tambak. Tidak hanya mengambil hasil atau apa aja yang ada di dalam speedboat, mereka juga merampas speedboat dengan memaksa penumpangnya terjun ke air dan meninggalkannya di tepian hutan Nipah. wajar kalau mereka begitu takut terhadap orang yang tidak dikenal. Perampokan dilakukan tidak hanya dimalam hari, tapi juga siang hari. Banyaknya percabangan sungai membuat para perompak leluasa melakukan tindakan kejahatannya.

Pada tahun 2009 saja sudah terjadi 45 kali kasus perampokan yang di laporkan ke pihak kepolisian. Namun baru 10 kasus yang berhasil diungkap. Pelaku tambak melakukan aksinya di wilayah Muara Bulungan, Mangkudulis, Tanjung Tiram, pulau Tias, dan perairan Tanah Karungan (Kaltim Polri.go.id)

Sudah banyak perompak yang tertangkap, bahkan diantaranya ditembak kakinya. Tapi kejadian ini masih saja terus berlangsung. "perompak itu mati satu tumbuh seribu" ucap seorang mahasiswa Universitas Borneo di Tarakan. Menurut Ali, salah satu penjaga tambak, meskipun sudah ditembak kakinya dan di penjara, perompak pemilik senjata api tetap dapat jatah dari perompak lain dengan meminjamkan senjatanya. "orangnya sudah tidak merampok mas, tapi senjatanya jalan terus" ungkapnya. "tidak ada gunanya kami melawan... dan untuk apa juga... karena kita ini cuma bekerja sama boss, bukan pemilik... tidak ada juga pengaruhnya buat kita..." ungkapnya dengan logat Sulawesi yang kental. Buat pekerja seperti Ali, pekerjaannya adalah menjaga tanggul jangan sampai bocor, panen, menjual hasil tambak., mengatur kualitas air tambak dengan memanfaatkan pasang surut air laut. Tentu dengan kemampuan membaca dinamika pasang surut air laut perhari pada setiap bulannya.

Kenapa mereka yang mendapatkan keuntungan paling rendah dan bekerja paling berat... selalu berhadapan dengan resiko yang paling tinggi... huuuh. Memang keadilan hanya ada di antara harapan dan angan-angan... Lady Justice Has Been Raped....


Ghonjess

22 Maret 2010

Alun alun: Jejak Sejarah Kekuasaan


Sejumlah abg berkumpul, berjoget, berjingkrak sekenanya. Menarik perhatian tidak hanya secara visual, alunan irama musik yang keluar dari seperangkat audio dengan volume besar memaksa mata untuk berpaling. Itu suasana di pojokan alun-alun Brebes. Sepeda motor yang kebanyakan sudah dimodifikasi ala free styler diparkir berjejer dekat trotoar yang mereka buat seolah menjadi panggung. ”Disini tempat trek-trekan sepeda motor kalau malem” ucap seorang anak muda ketika minum wedang ronde di angkringan pinggir alun-alun Demak. Di alun-alun Tuban sore itu anak-anak remaja asik bermain bola berlatar megahnya mesjid Agung Tuban, para pengemis hadir diantara para peziarah yang lewat depan Museum Kambang Putih menuju makam sunan Bonang yang terletak tepat di belakang mesjid. Bercampur riuh dengan para orang tua yang sedang menemani anak mereka yang sedang asik memilih aneka mainan yang dijual. Di Semarang, mall dan hotel modern telah menjadi bagian dari komplek alun-alun.

Jika kita menyusuri kota-kota di sepanjang pulau jawa, baik di pantai utara maupun selatan, alun-alun akan selalu menjadi penciri dari pusat-pusat kota yang dilewati. Alun-alun menjadi semacam tempat rekreasi berupa lapangan terbuka yang terdapat di tengah kota. Disekitarnya terdapat gedung pemerintahan, tempat ibadah, pusat pertokoan, museum, klenteng dan juga kadang penjara. Pertanyaan ”Ini pusat kotanya ya” kerab kita dengar dari mereka yang sedang plesir dan menyempatkan diri mampir kongkow disitu. Memang serasa belum sampai pusat kota jikalau belum sampai di alun-alun.

Alun-alun sudah ada sejak era pra kolonial. Bahkan ada yang meyakini sudah ada jauh sebelum era Majapahit. Pada waktu itu areal terbuka tersebut merupakan tempat yang sakral sebagai sarana upacara ritual dan do’a kepada para dewa. Pada era kejayaan kerajaan Jawa dijaman Majapahit hingga Mataram pada abad 13 hingga abad 18, alun-alun merupakan bagian dari kompleks keraton yang menjadi pusat kekuasaan, pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal raja. kompleks ini penuh dengan simbol yang menjadi miniatur dari makrokosmos. Areal keraton menjadi wilayah yang sakral penuh keteraturan baik tingkah laku manusia maupun tata letak bangunannya. Untuk itu pembatas berupa pagar-pun dibangun di sekeliling areal ini untuk memisahkan wilayah yang sakral dan homogen dengan wilayah di luar yang bersifat profan (Handinoto, 2009)

Ditengah alun alun biasanya terdapat dua pohon beringin yang dipagari, biasa disebut "waringin kurung" yang berasal dari suku kata "wri" yang berarti mengetahui dan melihat dan "ngin" yang berarti memikir tindakan atas masa depan yang keduanya menjadi simbol manusia yang arif dan bijaksana. Pohon beringin tersebut melambangkan langit yang berhubungan dengan permukaan tanah, bumi, yang dilambangkan dengan alun-alun yang berbentuk segi empat. Pagar di sekeliling pohon menjadi simbol tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi. Kesatuan simbol berupa pohon beringin, pagar dan alun-alun bermakna kesatuan dan harmoni manusia dengan universum yang menjadi tugas manusia untuk menjaganya (Pigeaud, 1940:180). selain itu, bangunan sekitar alun alun juga diatur sedemikian rupa sesuai fungsinya dengan mengikuti aturan sesuai dengan arah mata angin.

Sunan Kalijaga yang dipercaya hidup pada era pemerintahan Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang hingga awal pemerintahan Mataram juga mewarnai dan meninggalkan jejak pada kompleks alun-alun. Adanya Mesjid di bagian Barat merupakan salah satunya. Dijaman kolonial konsep kraton alun-alun ini ditiru oleh pemerintah kolonial untuk dapat berkuasa. Mereka mengangkat para bupati sebagai perpanjangan kekuasaan atau sebagai " inderect rule" dengan memberi sarana pendopo kabupaten, alun-alun dan juga penjara sebagai bagian dari alat kekuasaan. Hal ini yang membuat banyak pusat kota di kota-kota yang ada di pulau jawa selalu ada alun-alun. Menjadi metode pemerintahan kolonial dalam mengontrol penduduk yang begitu banyak dengan menggunakan pengetahuannya tentang budaya. Mereka mempelajari sejarah dan model kekuasaan yang ada yang kemudian digunakan menjadi praktek kekuasaan yang efektif. Alun-alun sebagai simbol yang sarat nilai budaya dan sakral direduksi menjadi lebih bersifat public space, menjadi city square untuk dapat mempertahankan kekuasaan secara simbolik selama ratusan tahun.

Memang alun-alun menjadi saksi dan menyimpan banyak kisah. Tidak berlebihan kalau ada yang bilang alun-alun adalah jendela-nya pulau Jawa. Karena ia selalu menjadi simbol dan saksi berlangsungnya kekuasaan dari jaman ke jaman dari berbagai peradaban. Ia menyimpan dimensi sejarah kekuasaan yang pernah singgah. Menjadi sumber ilmu tentang evolusi tata nilai, kekuasaan, budaya, perekonomian yang panjang dalam sejarah. Itu berlangsung hingga kini. Alun-alun menjadi pusat modernisasi... menjadi simbol globalisasi.... Menjejalkan aneka warna produk, transaksi seks, gaya hidup dan semua yang dianggap modern.... Kini alun-alun tidak sakral lagi... menjadi aula kesedihan bagi budaya bangsa. Buah dari dosa peradaban.


ref.
Handinoto, 2009. Alun-alun sebagai identitas kota Jawa, Dulu dan Sekarang
Pigeaud, Th. G. 1940. De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta, dalam majalah Jawa.