see the world

see the world

20 Mei 2010

Naseb Bungong Seulanga

Secara sepintas tidak ada yang istimewa dengan tempat ini. Petak-petak air yang luas dibelah oleh sungai kecil dengan pohon bakau dan nipah di tepiannya. Ketika air pasang air menjadi lebih dalam dan begitu juga sebaliknya ketika surut sungai menjadi lebih dangkal sepinggang orang dewasa. Hanya sekitar 2 km dari pantai membuat pasang surut sangat mempengaruhi debit air sungai ini. Menjelang siang hari ketika air dangkal terlihat banyak aktifitas dari orang-orang sekitar yang membuat suasana riuh penuh canda dan tawa. Dengan berbekal karung dan golok para perempuan terlihat memungut tiram (setidaknya begitulah mereka menyebutnya) di sungai. Sesekali mereka menyelam ke dasar sungai yang tidak terlalu dalam. Menjelang sore ketika air kian pasang mereka pulang berjalan beriring dengan "menyunggi" karung berisi tiram dengan menggunakan kain sarung yang diikat sedemikian rupa di kepala sebagai alas. Sementara terlihat beberapa laki-laki sedang menjala ikan di bagian tengah sungai dan terus bergerak kearah hilir. Meskipun sungai tersebut kecil dan tidak terlalu dalam namun dapat dilalui perahu bermotor berkapasitas kecil yang sesekali menghempaskan ombak ke tepian tanggul sungai...Huhh... rupanya tidak sesederhana kelihatannya.


dulu dikegelapan malam dari sungai ini sering mendarat perahu-perahu kecil dengan karung-karung yang berisi berbagai jenis senjata” ucap seorang lelaki separuh baya yang sudah lama tinggal di salah satu pondok. “ada jalur internasional melalui Kamboja, India, Afghanistan, Thailand, Philipina dan Malaysia yang diseberangkan ke daerah Peureulak dan Jambo Aye” ucapnya dengan penuh spekulasi tentang perdagangan senjata illegal. Mengingatkanku akan Victor Bout, man who makes war possible, yang tertangkap di Thailand dimana kisahnya difilmkan dalam Lord of War yang dibintangi Nicolas Cage, ditulis jadi buku Merchant of Death –nya Douglas Farah dan Stephen Braun. Kok nyambung dengan dengan cerita antusias si abang tentang kontak senjata yang sering terjadi di tempat tersebut. ... tentu saja... pada situasi konflik senjata, tempat ini menjadi penting untuk diperebutkan melalui pertempuran sengit jika memang benar apa yang dia ceritakan tadi. Pengepungan, mayat di pondok, di lumpur, diantara pohon nipah, tempat si anu tertembak kepalanya, tempat si itu tertangkap, tempat dia meloloskan diri, AK-47, M16, SS-1, GLM, FN, roket, granat, mortir, penculikan, sweeping, bakar, siksa dsb.. dsb... damn.. aku berharap dia bohong... celakanya aku pernah membaca banyak berita tentang kontak senjata yang terjadi di Pidie... di tempat ini ketika masa konflik... bener juga Romo Mangun.... logika perang modern memang tidak mengenal perasaan dan alasan-alasan budaya.... tidak seperti jaman dahulu kala... ketika perang masih bersifat seni perang.


Tiang-tiang kayu dengan tinggi sekitar 1 meter terlihat masih kokoh menopang pondok berbentuk panggung berukuran sekitar 3x4 meter. Berdiri di pinggir pepohonan bakau menghadap ke arah hamparan air membuatnya terlihat bersahaja sebagai bangunan yang lebih tinggi. Apalagi ketika matahari sore memantul dari permukaan air berwarna merah keemasan memberi efek silhouette yang mempertegas bentuk orang yang lagi sholat magrib di bagian teras. Pondok tersebut bagian depan memang sengaja dibuat terbuka dengan dinding rendah sehingga membentuk teras disetengah bagian depannya, menjadi shelter yang nyaman di tempat yang begitu panas dan bisa memandang ke berbagai arah. Keberadaan sumber air tawar berupa pancuran air yang terus mengalir dari sumur bor bak oase ditempat yang dikelilingi luapan air asin. . ”Disini mas tempat mereka sering tidur, kadang cuma beberapa orang, tetapi kadang hingga 40-an orang dengan senjata lengkap” ucapnya sambil menunjuk pondok... ditempatnya sedang duduk. “seragamnya sama, cuma bendera diseragam yang membedakan” timpalnya lagi.


Nuansa keharmonisan yang tertangkap indah oleh mata saat pergantian dari siang ke malam seolah ingin menutupi kisah-kisah mencekam tentang keberadaan pondok tersebut pada saat konflik. Sulit untuk membayangkan bahwa tempat ini menjadi salah satu zona perebutan dimana pelor dihamburkan dari moncong senapan yang sebagian darinya menembus kulit dan daging merenggut nyawa siapa saja pemilik tubuh. “sejujurnya saya sudah malas cerita tentang masa konflik” ucap seorang guru. Meskipun dia terus bercerita hingga larut malam kalau tidak mau disebut curhat. ”waktu itu kami terjepit dan serba salah” ucapnya. Kadang karena memberi sebatang rokok badan bisa tersiksa hingga nyawa melayang. Ya begitulah, kaum bersenjata dari pihak manapun selalu membawa situasi yang memilukan bagi masyarakat bawah.


Sejarah konflik begitu mewarnai kawasan ini, kisah pertempuran, ketakutan, kecemasan, heroik, serba salah, terjepit dalam situasi yang tidak menguntungkan sudah terjadi dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Mereka selalu dalam posisi caught in between dalam sejarah panjang pertempuran dan pergolakan dimana kedamaian menjadi damba. Seperti masa 30 tahun (1606-1636) pada era Sultan Iskandar Muda ketika Kerajaan Aceh Darussalam setenar dengan kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Agra dan Persia.


Wahe bungong ceudah hana ban
Tamse nyak dara nyang canden rupa
Diteuka bana dijak peuayang
uroe ngon malam bungong didoda

.......

Keubit that sayang naseb Seulanga...


Setelah tsunami dan perjanjian Helsinki akankah masyarakat Aceh mendapat kesempatan bernafas lebih panjang untuk bangkit dan berkembang terbebas dari rasa cemas. Hingga dapat menikmati asa dan harapan. Mengingat berita akhir-akhir ini tentang kekerasan dan senjata yang kembali hadir di kawasan ini.


Ghonjess


photo by Ghonjess

Lirik dari : http://tobei.blog.friendster.com/2007/03/lirik-seulanga-rafli/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar