see the world

see the world

23 Maret 2009

Friction... Cara Lain Memahami Globalisasi

Banyak yang bilang buku ini bagus, salah satu karya Tsing yang harus di baca, karena dia melihat globalisasi dengan cara yang berbeda dengan pandangan umum yang ada di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Akupun membaca buku tersebut dengan kemampuan bahasa inggris-ku yang pas-pasan… buku ini memang sangat menarik terutama bagi yang senang berbicara menggunakan kata globalisasi…


“A wheel turns because of its encounter with the surface of the road; spinning in the air it goes nowhere”


Kalimat diatas ditampilkan oleh Anna L Tsing untuk mempermudah pembaca memahami konsep “friction” sebagai konsep utama dalam bukunya yang berjudul “Friction: An Ethnography of Global Connection”. Melalui buku ini dia membawa pemikiran lain dalam melihat bagaimana proses globalisasi dapat terjadi, dalam hal ini keluar dari pandangan umum yang melihat globalisasi sebagai suatu proses satu arah dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang saja. Melalui konsep ”friction” yang menjadi konsep utama, buku tersebut memaparkan bahwa globalisasi tidak akan dapat berkembang sedemikian luas jika tanpa ada keterlibatan lokal dalam prosesnya. Terlihat pemikiran Michel Foucault mewarnai sebagai dasar pemikirannya. Melalui konsep ini pula pembaca diajak untuk dapat kritis terhadap anggapan bahwa globalisasi terjadi melalui proses hegemoni yang mengabaikan keberadaan kekuasaan ditingkat local. Dalam buku tersebut Tsing memperkenalkan konsep friction sebagai suatu penjelasan tentang bagaimana proses globalisasi bekerja di suatu tempat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam melihat kaitan antara global-lokal.


Paham universal menjadi kendaraan untuk memasuki ranah pembahasan globalisasi. Berkaitan dengan paham ini, buku disusun atas tiga bagian utama sesuai isu yang dijanjikan dalam paham universal yaitu kemakmuran (prosperity), pengetahuan (knowledge) dan kebebasan (freedom). Selain bahwa sifat universal yang dipercaya para antropolog ada dalam setiap masyarakat, isu lingkungan yang juga tidak terlepas dari paham universal, menjadi bagian dari seting penelitian, dalam hal ini isu hutan hujan tropis yang ada di Kalimantan Selatan. Disini diperlihatkan bagaimana hubungan global, regional dan lokal saling berkaitan satu dengan yang lainnya.


Dalam melihat bagaimana globalisasi bekerja di tingkat masyarakat, diperlihatkan isu ’strategi’ lebih relevan digunakan dari pada isu resistensi. Dalam buku tersebut terlihat bagaimana lokal tidak menolak globalisasi, akan tetapi juga tidak menerima begitu saja sebagai sebuah hegemoni. Mereka memodifikasi dan memanfaatkannya sesuai kepentingan-kepentingan yang dapat menguntungkan mereka. Lokal diposisikan tidak sebagai mereka yang ditaklukan oleh globalisasi, akan tetapi sebagai bagian dari koneksi global yang kompleks.


Sebagai sebuah karya etnografi, buku ini dapat dipahami tidak sebatas hanya isi cerita yang ada di dalamnya. Buku ini juga memberi sumbangan yang besar dalam ranah metodologi penelitian dalam ilmu sosial, khusunya dalam kajian antropologi. Penggunaan kata ”I” (saya) yang hadir disepanjang tulisan menunjukan adanya cara pandang yang relatif baru dibanding kajian-kajian lama dalam bidang antropologi. Sebagai salah satu dari studi kualitatif, disini cara-cara studi kualitatif positivism terlihat sudah ditinggalkan. Hal ini mungkin berangkat dari perkembangan pemikiran para antropolog bahwa masyarakat sebagai manusia yang menjadi pusat kajian, mampu melakukan konstruksi sosial dan mampu melakukan manipulasi. Sehingga cara padang konstruktivism terkesan lebih mewarnai dalam penelitian yang dijadikan landasan dalam penulisan buku ini.


Buku ini juga memperlihatkan kesan bagaimana peneliti tidak mendominasi dalam proses penelitian tersebut. Manusia dalam hal ini masyarakat sebagai sasaran kajian lebih diperlakukan sebagai subjek yang melakukan interaksi dengan penelitinya. Sehingga deskripsi yang ada lebih terlihat sebagai hasil keluaran dari pertanyaan ’bagaimana’ dan bukan dari pertanyaan ’mengapa’ sebagai konsekwensi metodologi bahwa yang diteliti adalah subjek. Dari sini teori yang digunakan terlihat lebih dekat dengan realita sosial yang diteliti.


Buku ini mendeskripsikan hal yang khas tentang Indonesia. Bagi mereka yang mendalami dan berperan aktif dalam isu-isu kehutanan di Indonesia, buku ini merupakan salah satu buku yang wajib untuk dibaca. Demikian juga dengan mereka yang ingin mengetahui atau mendalami kajian – kajian antropologi dalam hal ini etnografi, buku ini akan memberikan banyak inspirasi.


Ghonjess



Kembali ke Wacana

Ketika mendengar sekelompok remaja yang sering disebut ABG (anak baru gede) yang sedang ”ngobrol” satu dengan yang lainnya, kadang ditemui istilah-istilah yang asing dan sukar untuk dipahami. Meskipun mereka berbahasa Indonesia, kadang tidak gampang untuk memahami konteks pembicaraan mereka. Ketika mereka bercengkrama dan berbicang -bincang antara satu dengan yang lainnya, tampak mengalir begitu saja tanpa harus memikirkan struktur bahasa Indonesia yang baku. Dari percakapan yang diselingi gelak tawa riang ala anak remaja, tampak mereka saling memahami antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun bahasa yang digunakan para ABG bisa saja disadurkan ke dalam bahasa Indonesia yang taat azas aturan tata bahasa, baik dalam format bahasa lisan maupun bahasa tulis. Namun, kenyataanya tidak ada orang yang berbicara dalam bahasa Indonesia pada tataran tersebut.

Apabila kita melihat bahasa secara utuh sebagai sistem dan proses, sebagai struktur dan wacana, kita harus mengatakan bahasa adalah penggunaan yang tak terbatas dari sarana yang terbatas. Dalam pemahaman bahasa yang demikian kreativitas manusia sebagai subjek pelaku bahasa menjadi penting. Pendekatan struktural telah menyumbang pemikiran penting dalam linguistik dan ilmu sosial, tetapi sebuah teori bahasa yang mengabaikan wacana mau tak mau akan membawa kita kepada pemahaman yang tidak seimbang mengenai bahasa. Hal ini mungkin yang menjadi pemikiran dari kalangan ahli bahasa sehingga muncul pemikiran baru tentang wacana, dengan tanpa mengabaikan hasil yang telah dicapai oleh pendekatan struktural.

Tiap kata yang kita jumpai dalam kamus atau dalam perbendaharaan kolektif lisan kita hanyalah memiliki arti potensial. Arti itu baru menjadi aktual dalam wacana ketika seorang pembicara menggunakannya untuk menyampaikan sesuatu kepada seorang pendengar. Dalam hal ini kata dalam kamus termasuk dalam tatanan semiotis, sedangkan kata dalam wacana menjadi komponen dari semantis.

Kata selalu tersedia untuk digunakan sebagai kata baru secara terus-menerus, sedangkan kalimat sebagai peristiwa ujaran bersifat sementara. Dan karena kata selalu dipakai terus-menerus dalam konteks baru, kata memiliki sejarah, ia mengalami inovasi arti. Dalam sejarah pemakaian kata bisa mendapat lebih dari satu arti, atau dengan kata lain memiliki arti majemuk yang dalam linguistik disebut polisemi.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana mungkin kata dengan arti majemuk dapat berfungsi di dalam pembicaraan sehari-hari dan dalam tulisan, tanpa menimbulkan banyak kerancuan dan salah paham? Kita dapat mengatakan bahwa arti dari sebuah kata bergantung dari konteksnya. Konteks disini bukan hanya tempat kata di dalam wacana, melainkan juga lingkup sosial yang turut mewarnai makna sebuah kata. Para ABG diatas bisa dianggap memiliki lingkup sosial tertentu.

Salah satu ahli bahasa Benveniste, secara tegas membedakan semiotik dan semantik, Semiotik berurusan dengan bahasa sebagai sistem tanda (langue), sedangkan semantik menyelidiki wacana (discourse) dengan pengertian bahwa yang satu tidak bisa di subordinasikan pada yang lain. Unsur terkecil discourse adalah kalimat, sedangkan unsur terkecil langue ialah tanda. Semiotik dan semantik, langue dan discourse, tanda dan kalimat, merupakan dua lapisan bahasa yang tidak bisa direduksikan satu terhadap yang lain.

Bahasa sebagai sistem tanda bersifat potensial dan abstrak, hanya dengan melalui wacana menjadi aktual dan konkret. Ricoeur dalam Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, membedakan wacana (discourse) menjadi:

1) Discourse as event, yang memiliki ciri-ciri adanya subjek (self reference) yang melakukan tindakan yang diaktulisasikan dalam suatu peristiwa dengan pesan yang ditujukan pada penerima pesan.

2) Discourse as speech, memiliki ciri-ciri adanya tindakan bertutur di mana dalam tindakan tersebut terjadi proses pemilihan atas kata-kata yang akan dituturkan sehingga makna tertentu dipilih dengan meninggalkan makna lainnya.

3) Discourse as metaphor. Metafor terjadi karena adanya satu makna yang berlawanan dengan makna yang lain berupa kiasan yang didasarkan pada similaritas. Dalam prosesnya metafor dapat mengundang metafor-metafor lain dan membentuk jaringan metafor sehingga membentuk makna baru. Ketika makna baru tersebut diterima dan hidup di dalam masyarakat maka akan terbentuk polisemikata.

Dengan demikian makna dari sebuah teks menjadi penting, karena makna teks merupakan dunia tersendiri yang berbeda baik dari maksud pengarang, maupun dari dunia referensial, yang dirujuk oleh teks. Makna yang melingkupi suatu peristiwa akan tetap tinggal, sementara peristiwa-peristiwa tersebut berlalu.

Ghonjess