see the world

see the world

23 Juni 2010

Tiga Jari Pengemis



Langsung saja mengangguk ketika ku tawarkan untuk minum kopi. Begitu pesanan datang segera ia tuang ke tatakan cangkir dan, ....srupuuut... aah... kiranya menunggu kopi dingin saat cuaca panas di pinggir jalan pantai utara Tuban membuatnya menjadi tidak sabar. Setelah sedikit malu-malu sembari menyruput kopi perbincangan-pun menjadi lebih ’lepas’. Tambah asik tat kala strategi akting muka memelas standar pengemis secara perlahan mulai ia tanggalkan. Untuk itu sementara si bapak melepas profesionalismenya sebagai seorang pengemis dan kian menjadi dirinya. Percakapan menjadi lebih nyaman ketika sudah bisa tertawa bersama.... dan selanjutnya seperti laiknya orang yang lebih tua, si bapak mulai bercerita, memberi nasihat, berbagi kiat dalam menjalani hidup yang salah satunya bagaimana ia mengelola keuangan keluarga. 

Di Tuban Ia tinggal bersama istri di rumah yang telah mereka kontrak dengan harga 3.200.000 rupiah per dua tahun. ”ya beda mas, gak selalu gitu” protesnya ketika ku bilang berarti 1.6 juta rupiah per tahun. Di rumah kontrakan tersebut kadang ia menerima kunjungan anak jika kebetulan sedang ada keperluan ke kota. Jika mereka datang ia tak lupa memberi uang sekedar untuk sangu kembali ke desa. ”yaa harus disangoni mas... paling tidak 50 000” ucapnya dengan nada penuh tanggung jawab. “kadang sedulur saja saya kasih, apa lagi anak sendiri” sambunganya. 

Pak Wardoyo, begitu ia perkenalkan namanya, ia memang jarang bertemu dengan sanak keluarganya. Karena pulang kampung ke Bojonegoro hanya pada saat lebaran saja. Pada saat itu baru Ia dapat berkumpul dengan empat orang anak dan kelima cucunya. “sekarang cucu saya yang paling kecil sudah belajar bahasa Inggris” ucapnya bangga. Dari semua tuntutan kebutuhan hidup, Ia harus dapat mengatur sedemikian rupa uang kurang lebih 30.000 rupiah dari hasil mengemis setiap harinya.. ”yaa ngerekennya kudu pinter” ucapnya sambil menyingkirkan cangkir kopi yang ada di bangku...

Sambil memiringkan badan ia letakan telapak tangan di atas bangku papan diantara kami duduk. Tiga jari digunakan sebagai alat untuk menjelaskan kiat mengelelola uang hasil ”kerja akting” yang sudah lama Ia tekuni. Ia membagi uang menjadi tiga bagian, jari manis sebagai simbol tabungan. Setiap hari harus di simpan uang ”minimal” 10.000 rupiah yang hanya digunakan untuk bayar kontrakan dan pulang lebaran. ”jari manis gak boleh di utak atik mas” ucapnya dengan nada disiplin.. Jari telunjuk untuk kebutuhan makan sehari-hari yang tak lebih dari 10.000 rupiah, dan jari tengah untuk kebutuhan lainnya seperti obat-obatan, ngasih sangu anak kalau datang berkunjung dan memberi santunan anak yatim kalau ’lagi ada’. ”jadi kudu pinter ngreken dan disiplin” ucapnya setelah rampung menjelaskan filosofi tiga jarinya. Ia turunkan topi hingga menutupi bagian atas wajahnya. Melanjutkan menyusuri jalan kaki sambil melirik deretan puluhan sepeda motor baru yang tersusun rapi di rak trailer yang berjalan perlahan menuju ke arah Timur.. (GJ,19 Juni 2010)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar