see the world

see the world

26 Juli 2008

Aliran Sungai dalam Diriku

Ketika lagi asyik nonton tv di rumah, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Dengan enggan kuangkat untuk menjawab karena nomer yang muncul bukanlah nomor yang aku kenal. Memang kadang timbul rasa enggan untuk mengangkat panggilan telpon dari nomer yang tidak dikenal.. apalagi malam-malam ketika lagi asik di rumah bersama keluarga. Rasa enggan hadir karena bimbang tidak tahu siapa yang akan diajak bicara di seberang sana. Mungkin teman kerja, teman sekolah, keluarga, tetangga atau sekedar sales yang mau menawarkan up-grade kartu kredit, bahkan kadang hanya salah sambung. Hal ini yang membuatku sebel kalau ada teman atau kolega yang sering gonta ganti nomer HP.


Dari logat bicaranya aku sudah bisa tebak dari mana asal telepon... Sintang .... teman lama.... sehingga aku pindah ke bangku luar di halaman sebelah supaya pembicaraan lebih santai. Pendek kata kami-pun ngobrol ngalor ngidul saling bercerita dari soal bagaimana kehidupan keluarga masing-masing hingga cerita masa lalu ketika masih sekolah dulu. ”aku masih ingat waktu kau bantu nyelesaiin soal matematikaku” begitu ia memulai membawaku flash back ke masa 20 tahun-an yang lalu. Pembicaraan sempat terputus sebentar karena aku harus telepon balik untuk berbagi biaya pulsa dengannya. Kami akhiri pembicaraan melalui telepon tersebut setelah lebih dari satu jam kami bercakap-cakap. Sudah cukup menyirami rasa ingin tahu kami satu sama lain.


Menjelang tidur... sambil bergolek diranjang angankupun melayang jauh kemasa lalu. Terbayang riuh suara kapal motor yang lalu lalang di sungai Kapuas yang menjadi urat nadi kota Sintang dan kota-kota lain yang dilaluinya. Memang sungai terpanjang di Indonesia tersebut tak pernah bisa kulupakan. Karena disitulah pertama kali aku bisa berenang sewaktu aku masih SD. Menjadi arena bermain dengan teman-teman masa kecilku. Terjun dari atap kapal Bandung dengan menyelipkan bilah-bilah kecil potongan atap sirap dijari kaki, membawanya jauh kedalam air dan berlomba mencarinya kembali setelah dilepaskan. Berenang berkejaran di arus sungai dengan sesekali menyelam untuk menghindari yang ”jadi” agar tidak tertangkap. Menyelinap menyelam kebawah ”lanting” bersembunyi diantara dua log kayu besar yang dijadikan pelampung. Permainan lain yang juga asyik adalah naik kebagian depan ”alkon” atau ”Junjung Buih” dan kemudian terjun ketika sudah agak jauh kearah tengah sungai, dilanjutkan dengan berlomba berenang ketepian.


Seingatku dulu sungai ini sangat sibuk. Perahu kecil bermesin 2pk (alkon) dengan atap dan tempat duduk memanjang dari depan kebelakang, selalu hilir mudik setia menyebrangkan penumpang dari seberang yang satu ke seberang yang lain. Sementara kapal feri dari besi yang bernama ”Junjung Buih” menyeberangkan mobil dan motor serta kendaraan lain yang lebih besar. Kapal Bandung yang mirip supermarket berjalan, bergerak perlahan menyusuri sungai dari kota satu ke kota yang lain membawa barang-barang dagangan. Selain itu berbagai jenis kapal air seperti speedboat, longboat juga kapal klotok tiada henti membuat gelombang yang menghempaskan air ditepian. Pada malam hari sering terlihat rakit-rakit log kayu panjang milik HPH bergerak pelan seperti monster air raksasa mengikuti arus air dari kawasan hulu menuju ke hilir.


Tentu sekarang sudah banyak mengalami perubahan, sungai sudah tidak semeriah dulu lagi. Di atas dua sungai yang menjadi poros kota Sintang, yaitu sungai Melawi dan sungai Kapuas sudah melintang jembatan besi permanen. Alkon sudah tidak sebanyak dulu, junjung buih sudah menjadi monumen sejarah masa lalu berbentuk besi karatan dipinggir sungai. Jalan raya antar kota sudah beraspal, kapal-kapal bandung mulai berkurang tergantikan oleh truk-truk besar. Tak ada lagi rakit kayu milik HPH karena hutannya sudah habis. Begitu juga dengan para anak-anak dan remajanya, mereka tidak lagi berkejaran disungai. Memodifikasi sepeda motor dan menjadi free styler lebih digandrungi.


Sungai ini memang indah, berkelok-kelok sepanjang kurang lebih 1100 km mengukir daratan Kalimantan yang cenderung datar dan membentuk meander dan oxbow lake dari Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, Sanggau hingga ke pesisir di Pontianak. Begitu pentingnya sungai ini bagi masyarakat sampai ada mitos yang sering kudengar dari kecil bahwa barang siapa yang pernah minum air sungai Kapuas, dia akan kembali lagi ke Kalimantan. Wajar jika para kolonial diabad 19 senang melakukan ekspedisi menyusuri sungai-sungai di kalimantan.


Tercatat ekspedisi atau petualangan yang dilakukan kolonial di Kalimantan, diantaranya Alexander Hare di Banjarmasin (1812), James Erskine Murray di Kutai (1844), Robert Burns di Sarawak (1848) dan juga Dalton (1828). Sementara yang menjelajah Borneo hingga kedalam adalah Muller (1825) yang diduga tewas terbunuh di Kapuas Hulu. Hampir 70 tahun kemudian setelah ekspedisi Nieuwenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan pegunungan di tengah kalimantan tersebut di beri nama Pegunungan Muller.


Untuk melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh Muller, melalui badan penasehat (Indisch Comite) Perhimpunan untuk Memajukan Penelitian Alam di koloni Belanda (Maatscappij ter bevordering van het natuurkundig onderzoek der Nederlansche Kolonien) di Amsterdam kemudian memutuskan mengorganisir ekspedisi di Borneo Tengah untuk eksplorasi ilmiah di hulu Sungai kapuas dan cabang-cabangnya. Entah karena mitos sungai Kapuas atau tidak, ekspedisi yang dipimpin oleh DR Anton W Nieuwenhuis ini dilakukan sampai tiga kali. Ekspedisi pertama (1893-1894); ekspedisi kedua (1896-1897) dan Ekspedisi ketiga (1898-1900).


Tentu bukan mitos tersebut yang membuatku malam ini seperti terbang kembali ke Sintang. Karena aku tidak hanya minum air sungai kapuas, tetapi aliran sungai kapuas hingga kini mengalir deras dalam diriku. Sehingga meskipun sudah hampir dua puluh tahun aku tinggal di Bogor, aku sebenarnya tidak pernah meninggalkan Sintang. Kota yang terletak di tanjung sungai Kapuas tempat aku dibesarkan dan tempat dimana bapakku dikuburkan.



Ghonjess

Tidak ada komentar:

Posting Komentar