see the world

see the world

09 Maret 2011

Sang Manusia Universal: Leonardo da Vinci

Iklim intelektual renaisans terutama dibentuk oleh gerakan humanisme filosofis literer, yang menjadikan kemampuan-kemampuan manusia secara individu sebagai pusat perhatiannya. Ini merupakan pergesaran fundamental dari dogma Abad Pertengahan dalam bidang pemahaman manusia dari sudut pandang religius. Renaisans menawarkan pandangan lebih sekuler, dengan fokus yang semakin meningkat pada intelek manusia sebagai individu. Semangat baru humanisme mengungkapkan dirinya melalui penekanan kuat pada studi-studi klasik yang membuka pandangan para sarjana dan seniman akan keragaman ide-ide filosofis Yunani dan Romawi yang mendorong pemikiran kritis individu, dan menyiapkan landasan bagi kelahiran kerangka berfikir rasional dan saintifik secara bertahap.

Di Florence, buaian renaisans itu, dekapan humanis yang antusias terhadap inventoran dan pendidikan melahirkan sebuah ideal manusia baru --- I’uomo universale, manusia “universal” yang kecakapanya tak terbatas, terdidik dalam semua cabang pengetahuan dan mampu menghasilkan berbagai inovasi dalam cabang-cabang tersebut. Ideal ini menjadi terkait sangat erat dengan Renaisans hingga para sejarawan selanjutnya secara umum merujuknya sebagai ideal “manusia Renaisans”. Di dalam masyarakat Florence pada abad ke-15, bukan hanya para seniman dan filsuf tetapi juga para pedagang dan negarawan berjuang untuk menjadi “univesal”. Mereka menjadi terdidik dalam bahasa Latin dan Yunani, dekat dengan karya-karya Aristoteles, dan akrab dengan traktat-traktat klasik tentang sejarah alam, geografi, arsitektur, dan teknik.

Para humanis Florence terinspirasi oleh beberapa individu diantara mereka yang tampaknya merupakan perwujudan ideal I’uomo universale sempurna. Salah satunya dan yang paling ternama adalah, Leon Battista Alberti, yang lahir setengah abad sebelum Leonardo, agaknya merupakan pendahulunya yang sempurna. Alberti, sebagaimana Leonardo, dianggap telah dikaruniai keelokan luar biasa dan kekuatan fisik yang besar, ia juga penunggang kuda yang sangat terampil dan merupakan musisi berbakat. Selain itu, ia adalah arsitek masyur dan pelukis ternama, menulis prosa indah dalam bahasa Latin, mempelajari baik hukum sipil maupun norma juga fisika dan matematika dan pengarang sejumlah traktat seni visual. Sebagai seorang pemuda, Leonardo takjub pada Alberti: ia membaca karya alberti dengan tekun, berkomentar tentang tulisannya, dan berusaha menyainginya dalam hidup dan karyanya sendiri.

Tentu saja pada tahun tahun berikutnya, Leonardo melampaui Alberti baik dalam keluasan maupun kedalaman karyanya. Perbedaan Leonardo dengan “manusia universal” Renaisans Italy lainnya bukan hanya bahwa ia bergerak lebih jauh ketimbang orang lain di dalam penyelidikannya, tetapi ia juga mentransendensi batas-batas disiplin pada masanya. Ia melakukan hal tersebut dengan mencerap pola-pola yang saling mengkaitkan bentuk-bentuk dan proses-proses dalam domain yang berbeda beda dan mengintegrasikan temuan-temuannya ke dalam visi tentang dunia yang terpadu.

Agaknya memang demikianlah cara Leonardo memahami makna universale. Statementnya yang terkenal ,Facile cosa e farsi universale telah sering ditafsirkan memiliki makna bahwa kecakapan tak terbatas mudah untuk dijangkau. Namun saat kita membaca pernyataan tersebut dalam konteksnya, makna yang sangat jauh berbeda akan terlihat. Dengan kata lain, bagi Leonardo, menjadi universal berarti menyadari kemiripan-kemiripan dalam bentuk-bentuk hidup yang menghubungkan aspek-aspek alam yang berbeda-beda. Kesadaran bahwa bentuk-bentuk alam yang hidup memperlihatkan pola-pola fundamental semacam ini merupakan wawasan kunci aliran biologi Romantik pada abad ke-18. Pola-pola ini disebut Urtypen (arketip) dalam bahasa jerman, dan di Inggris Charles Darwin mengakui bahwa konsep ini memainkan peran utama dalam konsepsi awalnya tentang evolusi.

Maka, Leonardo da Vinci adalah orang pertama dalam silsilah para ilmuwan yang memfokuskan diri pada pola-pola yang saling menghubungkan berbagai struktur dasar dan proses pada sistem-sistem yang hidup. Kini, pendekatan pada sains ini di sebut sebagai “pemikiran sistemik”. Bagi Fritjof Capra, ini merupaka esensi dari apa yang dimaksudkan Leonardo sebagai farsi universale. Untuk menterjemahkan secara bebas statementnya ke dalam bahasa ilmiah modern, ia memparafrasekan demikian: “bagi orang yang bisa mencerap pola pola yang saling menghubungkan, adalah mudah untuk menjadi seorang pemikir sistemik”.

(salin dari buku Fritjof Capra “Sains Leonardo: Menguak kecerdasan Terbesar Masa Renaisans” hal 43-46)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar