see the world

see the world

16 Juni 2008

Metallica di Pengadilan Negeri Cibadak

Seraut wajah sayu dengan leher berkalung papan nama setinggi dada jelas menunjukan bahwa orang tua tersebut adalah seorang tahanan. Di papan tertulis G.J.Gibson dengan tiga huruf terakhir terlihat samar sehingga sudah sulit untuk dibaca. Kakek tua tersebut ditahan oleh militer pada tahun 1908 dengan tuduhan telah menangkap seekor berang-berang dengan menggunakan sebuah perangkap di Taman Nasional Yellowstone. Entah apa maksud photo yang ada di national park service tersebut, barangkali ingin memberi tahu pengunjung bahwa kriminalisasi masyarakat sekitar taman nasional sudah terjadi sejak lama, setua umur photo kuno tersebut. Bahkan mungkin sudah terjadi sejak awal taman nasional didirikan mengingat era westernisasi yang pernah mewarnai sejarah di benua tersebut.

Sebelumnya pada tahun 1869 buku Adventures in the Willderness karya William H.H.Murray banyak menarik perhatian publik di region Adirondacks yang kemudian menjadi best seller. Mirip dengan Man and Nature-nya George Perkins Marsh yang telah lebih dahulu terbit lima tahun sebelumnya. Buku-buku tersebut memberi pengaruh yang relevan terhadap imaginasi publik Amerika tentang nature. Pada tahun 1872 the new york state legislature membentuk State Park Commission yang diberi tanggung jawab atas kelangsungan pengawetan hutan di Adirondacks counties. Pada tahun yang sama konggres Amerika mengumumkan berdirinya Taman Nasional Yellowstone sebagai taman nasional pertama di muka bumi. Konsep taman nasional ini kemudian menjadi model yang menyebar keseluruh dunia mengikuti kolonialisme pada era Gold, Glory, Gospel yang sudah terlebih dahulu menyebar pada abad sebelumnya. Konsep dan model taman nasional tersebut juga sampai di Indonesia bersama sifat kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar kawasan yang tetap melekat padanya.

Di kampung Leuwiwaluh desa Cipeutey seorang kakek bersama sang istri berencana untuk memperbaiki rumah mereka yang hampir roboh. Rumah berdinding anyaman bambu yang mereka tempati selama ini memang sudah reot dan tak layak untuk dihuni. Untuk itu mereka harus rela menjual sepetak sawah yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Dengan bermodal uang 500 ribu si kakek ingin mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang ada dibeberapa bagian konstruksi rumah sederhananya, perbaikan memang harus dilakukan dan sudah tidak bisa ditawar lagi.

Untung ia punya seorang teman yang mau membantu keresahannya, suatu rasa kemanusiaan dan kekeluargaan yang lumrah ada di kampung mereka. Sang teman meskipun sudah tua tetapi masih bisa bertukang dan yang terpenting dia membantu tanpa pamrih alias tanpa bayaran. Dua orang kakek tersebut segera membeli setengah kubik balok kayu yang sedang direndam di dalam empang milik rekan mereka di kampung sebelah. Perendaman dilumpur seperti ini sudah menjadi teknologi pengawetan kayu yang mereka sudah ketahui sejak masih kecil secara turun temurun. Namun dalam kaca mata hukum formal hal itu bisa saja dipahami sebagai modus penyembunyian dalam tindak kejahatan. Memang semua ini sebenarnya awal dari bencana yang akan melanda dan mengisi sejarah hidup mereka yang sudah di ujung senja.

Pada suatu malam tanggal 03 Maret 2008 belasan pasukan pengamanan hutan dan pam-swakarsa patroli kekampung dan menangkap mereka. Tanpa seijin kepala desa mereka melakukan operasi dengan dalih adanya dua batang pohon yang hilang di taman nasional. Mereka yang jauh lebih muda dan jauh lebih kuat leluasa memukuli dan menendangi salah seorang kakek serta membawa kedua kakek tersebut ke kantor balai taman nasional. Ternyata sifat dasar para penjajah masih tetap bercokol di republik ini, terwujud dalam birokrat taman nasional yang arogan dan kelakuan-kelakuan mirip opas yang suka main gebuk petentengan keluar masuk kampung mencari mangsa. Begitulah bagaimana kemudian kedua orang kakek ini menambah daftar panjang korban kriminalisasi dari arogansi taman nasional. Memang proses perluasan taman nasional yang sedang dilakukan dan belum selesai tersebut menjadi momok yang meresahkan bagi masyarakat di sekitarnya. Sudah banyak orang yang dipenjarakan hanya karena mereka melakukan kegiatan yang sudah mereka lakukan dari sebelum taman nasional itu ada. Mirip dengan apa yang sudah terjadi di Adirondacks, Yellowstone maupun Grand Canyon yang menjadi protipe taman nasional dunia.

Dari gambar di photo tampak bagaimana dua orang kakek dengan wajah bingung menunduk memendam kesedihan penuh rasa putus asa. Tubuh renta berbalut baju koko putih memberi isyarat ketidakberdayaan manusia di balik jeruji besi tampak begitu nyata. Begitu nyata karena aku sendiri yang mengambil gambarnya. Begitu nyata karena aku sering main kekampungnya. Begitu nyata karena aku melihat ekspresi kesedihan dan ratapan sang istri dan sanak keluarga setiap kali bertemu diruang tahanan pengadilan. Begitu nyata bahwa mereka yang harusnya melindungi rakyat kecil berprilaku dan berwatak sama saja kalau tidak mau dikatakan lebih buruk dari para penjajah. Begitu nyata karena pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa merekalah yang mencuri kedua pohon yang hilang seperti yang dituduhkan. Begitu nyata ketukan palu hakim pada tanggal 12 Juni 2008 menyatakan mereka bersalah tanpa mereka paham apa kesalahannya. Begitu nyata bahwa kita belum merdeka.

Tangisan mewarnai sudut-sudut gedung pengadilan, di ruang tahanan, koridor, di mushola hingga di kamar mandi. Kekecewaan.... kepiluan.... kemarahan.... dan ketidakberdayaan dari orang-orang kecil memancarkan suasana haru kantor pengadilan. Semua perasaan bercampur aduk membentuk harmoni perlawanan yang masih terpendam. Dalam jiwa bergejolak penuh emosi, sekeras tabuhan drum Lars Ulrich, setajam sayatan gitar Kirk Hammett, segarang betotan senar bass Jason Newstad dan selantang teriakan serak James Hetfield :

Justice is Lost…. Justice is Raped…. Justice is Gone....


Ghonjess

Tidak ada komentar:

Posting Komentar